Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Israel semakin menggencarkan ofensif militernya ke Gaza City, dengan laporan tank yang masuk lebih dalam ke pusat kota serta kendaraan bermuatan bahan peledak yang diledakkan di kawasan permukiman.
Serangan udara yang menyertai operasi tersebut menewaskan sedikitnya 19 orang, menurut pejabat Palestina dan saksi mata pada Senin (1/9).
Tuduhan Genosida dari Asosiasi Akademisi Dunia
Situasi di Gaza mendapat sorotan internasional setelah International Association of Genocide Scholars (IAGS)—asosiasi akademisi terkemuka di bidang studi genosida—mengumumkan resolusi bahwa tindakan Israel di Gaza memenuhi kriteria hukum untuk disebut sebagai genosida.
Baca Juga: Israel Gempur Gaza City, Korban Sipil Bertambah dan Warga Mengungsi
Pemerintah Israel belum memberikan tanggapan atas pernyataan tersebut. Sebelumnya, Israel selalu menolak tuduhan genosida, dengan menyebut operasi militernya sebagai upaya menghancurkan Hamas dan menyelamatkan sandera.
Strategi Militer: Menguasai Seluruh Jalur Gaza
Laporan menyebutkan pasukan Israel mengirim kendaraan lapis baja tua ke distrik padat penduduk Sheikh Radwan, lalu meledakkannya dari jarak jauh. Ledakan tersebut menghancurkan sejumlah rumah dan memaksa lebih banyak keluarga meninggalkan tempat tinggal mereka.
Militer Israel juga menyebarkan selebaran di atas Gaza City, meminta warga sipil segera bergerak ke selatan karena operasi darat akan diperluas ke arah barat.
“Orang-orang bingung, tetap tinggal berarti mati, sementara pergi pun tidak tahu akan ke mana,” kata Mohammad Abu Abdallah (55), warga Sheikh Radwan, kepada Reuters. “Itu adalah malam penuh horor; ledakan tidak berhenti, dan drone terus berputar di atas kami.”
Korban Jiwa dan Krisis Kelaparan
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, setidaknya 98 warga Palestina tewas akibat serangan Israel dalam 24 jam terakhir. Selain itu, 9 orang—termasuk 3 anak-anak—meninggal akibat kelaparan dan malnutrisi, sehingga total korban jiwa karena kekurangan pangan mencapai 348 orang, dengan 127 di antaranya anak-anak.
Israel membantah data kelaparan tersebut, dengan menyebut kematian itu disebabkan oleh faktor medis lain. Namun, laporan lapangan menunjukkan krisis kemanusiaan yang kian memburuk di Jalur Gaza.
Pertemuan Kabinet Keamanan Israel
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menggelar rapat kabinet keamanan pada Minggu malam untuk membahas operasi baru di Gaza City, yang ia sebut sebagai “benteng terakhir Hamas.”
Baca Juga: Israel Pertimbangkan Aneksasi Tepi Barat, Respons atas Pengakuan Negara Palestina
Meski demikian, militer Israel memperingatkan bahwa operasi darat besar-besaran bisa membahayakan 48 sandera yang masih ditahan Hamas, dengan perkiraan hanya 20 orang di antaranya yang masih hidup. Tekanan publik di Israel juga meningkat, dengan gelombang protes yang menuntut penghentian perang dan pembebasan sandera.
Latar Belakang Perang dan Krisis Kemanusiaan
Perang di Gaza bermula pada 7 Oktober 2023, ketika serangan Hamas ke Israel selatan menewaskan sekitar 1.200 orang—sebagian besar warga sipil—dan menyandera 251 orang.
Sejak saat itu, ofensif Israel telah menewaskan lebih dari 63.000 orang di Gaza, mayoritas warga sipil, menurut data otoritas kesehatan setempat. Jalur Gaza kini mengalami kehancuran masif, kelaparan meluas, serta krisis kemanusiaan terburuk dalam sejarahnya.
Upaya gencatan senjata yang terakhir digelar pada Juli 2025 berakhir tanpa hasil, dan hingga kini, negosiasi untuk menghidupkan kembali perundingan damai masih menemui jalan buntu.