Reporter: Dessy Rosalina | Editor: Yudho Winarto
TOKYO. Jepang boleh berlega hati. Meski masih dirundung deflasi, neraca perdagangan Negeri Matahari Terbit tersebut berhasil mencatatkan surplus selama 20 kali secara berturut-turut.
Mengutip data terbaru Pemerintah Jepang yang terbit, Jumat (8/4), neraca perdagangan Jepang mencetak surplus sebanyak ¥ 2,43 triliun atau setara US$ 22,4 miliar di Februari 2016 lalu. Ini merupakan surplus neraca perdagangan tertinggi Jepang sejak Maret 2015.
Pencapaian surplus perdagangan Jepang tersebut lebih tinggi dari perkiraan ekonom. Survei Bloomberg terhadap ekonom menebak surplus perdagangan Jepang sebesar ¥ 2,03 triliun.
Sepanjang Februari, surplus Jepang ditopang oleh harga impor energi yang murah, kenaikan pendapatan investasi korporasi Jepang di luar negeri dan derasnya arus masuk turis ke Jepang.
Rinciannya, setoran pendapatan investasi korporasi Jepang sebesar ¥ 2 triliun sepanjang Februari 2016. Sedangkan surplus dari sektor jasa sebesar ¥ 159,5 miliar yang didominasi oleh pendapatan dari sektor pariwisata.
Tapi, tren perbaikan surplus ini bisa jadi berbalik. Pemicunya, penguatan signifikan yen. Nilai tukar yen yang terus menguat terhadap dollar Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan akan mengurangi keuntungan eksportir. Efek lain, penguatan yen bisa menurunkan selera turis berkunjung ke Jepang karena ongkosnya lebih mahal.
Catatan saja, yen telah menguat 11% terhadap greenback sejak awal tahun ini. "Tren neraca perdagangan surplus akan berlanjut selama harga minyak mentah murah, dan kunjungan turis stabil," ujar Atsushi Takeda, ekonom Itochu Corp di Tokyo, seperti dikutip Bloomberg, Jumat (8/4).
Takeda menilai, ancaman terbesar ekonomi Jepang datang dari penguatan yen. Apalagi, jika penguatan yen terjadi signifikan di saat daya beli dari domestik dan luar negeri masih lemah.
Di sisi lain, core consumer price index (CPI) alias indeks harga konsumen inti di Tokyo bahkan turun pada posisi terendah dalam tiga tahun terakhir atau turun 0,3% di Maret 2016.
Para pelaku pasar sebelumnya memprediksi terjadi pertumbuhan inflasi konsumen rata-rata sebesar 0,1%. Sementara inflasi inti di Tokyo diprediksi turun sebesar 0,2%.


/2011/05/07/621958556.jpg) 
  
  
  
  
  
  
 










