Sumber: TheIndependent.co.uk | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Shigeru Ishiba, Perdana Menteri baru Jepang, telah memunculkan gagasan ambisius tentang pembentukan sebuah "NATO Asia" sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik.
Ide ini berakar pada kebutuhan untuk menciptakan aliansi pertahanan kolektif guna melindungi negara-negara anggota dari potensi ancaman, terutama dari negara-negara tetangga yang memiliki kekuatan nuklir seperti Tiongkok, Rusia, dan Korea Utara.
Namun, gagasan ini mendapat tanggapan beragam dari sekutu-sekutu Jepang serta skeptisisme dari beberapa negara di Asia, termasuk India.
Baca Juga: Perdana Menteri Baru Jepang Wacanakan Tarif Pajak Perusahaan yang Lebih Tinggi
Gagasan Ishiba: Aliansi Pertahanan Kolektif untuk Menghadapi Ancaman Regional
Dalam kampanye pemilihannya sebagai Perdana Menteri, Ishiba menekankan pentingnya membentuk sebuah aliansi pertahanan di kawasan Asia-Pasifik yang menyerupai NATO. NATO, yang dibentuk pada tahun 1949, adalah aliansi militer yang melibatkan 12 negara pendiri, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis, dan Portugal.
Fungsi utama NATO adalah memastikan keamanan kolektif anggotanya dari ancaman eksternal. Model ini diusulkan oleh Ishiba sebagai solusi untuk menghadapi ancaman keamanan yang semakin kompleks di Asia, terutama dari Tiongkok yang terus memperluas pengaruh militer dan ekonomi di kawasan tersebut.
Dalam tulisannya untuk lembaga think tank Hudson Institute, Ishiba berargumen bahwa pembentukan aliansi serupa di Asia akan menjadi cara yang efektif untuk mencegah Tiongkok menggunakan kekuatan militer dalam konfliknya dengan negara-negara tetangga.
Ishiba juga menyatakan bahwa ancaman keamanan yang dihadapi Jepang saat ini adalah yang paling serius sejak Perang Dunia II, sehingga diperlukan langkah-langkah diplomatik dan militer yang lebih kuat.
Baca Juga: PM Baru Jepang Shigeru Ishiba Umumkan Kabinetnya Jelang Pemilihan Umum
Reaksi Internasional: Skeptisisme dari Sekutu dan Negara-negara Asia
Meski gagasan ini menarik perhatian, beberapa sekutu terdekat Jepang merespons dengan skeptis. India, yang menjadi bagian dari kelompok Quad (Jepang, Australia, India, dan Amerika Serikat), mengindikasikan bahwa mereka tidak berbagi visi yang sama.
Menteri Luar Negeri India, Subrahmanyam Jaishankar, menyatakan bahwa negara-negara Asia Selatan tidak memiliki kerangka strategis seperti yang diusulkan oleh Ishiba. Jaishankar juga menekankan bahwa India memiliki pendekatan berbeda dalam urusan diplomasi militer, yang tidak mengandalkan persekutuan formal dengan negara lain.
Amerika Serikat, sekutu utama Jepang, juga menganggap ide ini masih terlalu prematur. Daniel Kritenbrink, Asisten Menteri Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik, menyatakan bahwa terlalu dini untuk membicarakan pembentukan aliansi militer semacam itu di Asia.
Meskipun AS memahami kekhawatiran Jepang, mereka lebih memilih untuk memperkuat kerja sama keamanan yang sudah ada tanpa harus membentuk aliansi baru.
Baca Juga: Profil Shigeru Ishiba, PM Jepang Baru: Pernah Menyerukan Pembentukan NATO Asia
Posisi Jepang: Menjaga Hubungan Diplomatik yang Seimbang
Takeshi Iwaya, Menteri Luar Negeri baru Jepang, tampaknya meredam harapan terkait pembentukan "NATO Asia" dalam waktu dekat. Dalam konferensi pers, Iwaya menjelaskan bahwa gagasan ini adalah salah satu dari sekian banyak upaya untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara yang berpandangan serupa, serta meningkatkan keamanan regional.
Namun, ia juga mengakui bahwa sulit untuk segera membentuk mekanisme yang memberlakukan kewajiban pertahanan bersama di Asia, sehingga gagasan ini lebih dilihat sebagai visi jangka panjang.
Iwaya menekankan pentingnya menjaga kerja sama pertahanan dan keamanan yang luas di kawasan Indo-Pasifik tanpa mengecualikan negara mana pun. Pernyataan ini memperlihatkan sikap Jepang yang tidak ingin memprovokasi negara-negara tertentu, terutama Tiongkok, dengan menciptakan aliansi militer yang secara eksplisit diarahkan untuk melawan negara tersebut.
Jepang tampaknya lebih memilih pendekatan diplomasi yang hati-hati, dengan tetap menjaga hubungan baik dengan negara-negara di kawasan Indo-Pasifik sambil memperkuat aliansi pertahanannya.
Baca Juga: Shigeru Ishiba jadi Perdana Menteri Jepang yang Baru
Tantangan Membangun "NATO Asia"
Meskipun Shigeru Ishiba memiliki visi besar tentang pembentukan "NATO Asia," tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan visi ini sangat kompleks. Salah satu tantangan utamanya adalah perbedaan pandangan di antara negara-negara Asia, yang memiliki latar belakang sejarah dan kepentingan politik yang berbeda.
Beberapa negara, seperti India, cenderung menghindari persekutuan militer formal karena mereka lebih memilih kebijakan non-alignment dalam diplomasi internasional.
Selain itu, skeptisisme dari Amerika Serikat juga menjadi penghalang besar. Sebagai kekuatan militer utama di kawasan, AS lebih fokus pada memperkuat mekanisme yang sudah ada, seperti Quad, daripada membentuk aliansi baru.
Namun, Ishiba tetap berkomitmen untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan sekutu-sekutunya guna menghadapi ancaman keamanan yang semakin meningkat.
Masa Depan Aliansi Keamanan di Asia
Masa depan aliansi keamanan di Asia masih penuh ketidakpastian. Gagasan tentang "NATO Asia" mungkin belum dapat terwujud dalam waktu dekat, tetapi diskusi mengenai keamanan kolektif di kawasan ini akan terus berlangsung.
Baca Juga: Partai Demokrat Liberal Jepang akan Pilih Pemimpin Baru untuk Gantikan PM Kishida
Jepang, di bawah kepemimpinan Ishiba, kemungkinan akan terus memperjuangkan kerja sama yang lebih erat dengan negara-negara yang memiliki kepentingan keamanan yang sama, sambil menjaga keseimbangan diplomatik dengan negara-negara tetangganya yang memiliki pengaruh besar, seperti Tiongkok dan Rusia.
Di tengah dinamika geopolitik yang terus berkembang, peran Jepang dalam menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik akan menjadi semakin penting. Apakah "NATO Asia" akan menjadi kenyataan atau hanya akan tetap menjadi visi, waktu yang akan menjawab.