Sumber: New York Times | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Hasil riset akademis yang dipublikasikan pada Senin (25/1/2021) menunjukkan, dalam memonopoli pasokan vaksin untuk Covid-19, negara-negara kaya mengancam lebih dari sekadar bencana kemanusiaan. Yakni, kerusakan ekonomi yang diakibatkannya akan menghantam negara-negara makmur hampir sama kerasnya dengan negara-negara berkembang.
New York Times memberitakan, dalam skenario paling ekstrim - di mana negara-negara kaya bakal melakukan vaksinasi penuh pada pertengahan tahun ini, dan negara-negara miskin sebagian besar melakukan lockdown - studi tersebut menyimpulkan bahwa ekonomi global akan menderita kerugian melebihi US$ 9 triliun, jumlah yang lebih besar dari hasil PDB tahunan gabungan Jepang dan Jerman.
Hampir setengah dari biaya tersebut akan diserap oleh negara-negara kaya seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris.
Dalam skenario yang paling mungkin disebut para peneliti, di mana negara-negara berkembang memvaksinasi setengah dari populasi mereka pada akhir tahun, ekonomi dunia masih akan terpukul antara US$ 1,8 triliun dan US$ 3,8 triliun. Lebih dari separuh penderitaan akan terkonsentrasi di negara-negara kaya.
Baca Juga: Saran ahli kesehatan untuk mencegah penularan virus corona varian baru
Ditugaskan oleh Kamar Dagang Internasional, penelitian tersebut menyimpulkan bahwa distribusi vaksin yang adil adalah untuk kepentingan ekonomi setiap negara, terutama yang sangat bergantung pada perdagangan. Ini sama dengan teguran terhadap anggapan populer bahwa berbagi vaksin dengan negara-negara miskin hanyalah bentuk amal.
"Jelas, semua ekonomi terhubung," kata Profesor Selva Demiralp, seorang ekonom di Koc University di Istanbul yang sebelumnya bekerja di Federal Reserve di Washington, dan merupakan salah satu penulis di riset tersebut. "Tidak ada ekonomi yang akan pulih sepenuhnya kecuali ekonomi lain pulih."
Baca Juga: Catat, ini saran dokter untuk mencegah Covid-19 dari virus corona varian baru
Prof Demiralp mencatat bahwa inisiatif filantropi global yang dikenal sebagai Akselerator ACT -yang bertujuan untuk menyediakan sumber daya pandemi ke negara-negara berkembang- telah mendapatkan komitmen kurang dari US$ 11 miliar menuju target US$ 38 miliar. Studi ini memaparkan alasan ekonomi untuk menutup kesenjangan.
Sisa kekurangan dana senilai US$ 27 miliar mungkin terlihat seperti jumlah yang sangat besar. Akan tetapi, jumlah tersebut sangat kecil dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiarkan pandemi terus berlanjut.
Riset tersebut juga menegaskan, dalam ranah perdagangan internasional, tidak ada yang dapat bersembunyi dari virus corona. Rantai pasokan global yang vital bagi industri akan terus terganggu selama virus tetap menjadi kekuatan.
Sebuah tim ekonom yang berafiliasi dengan Koc University, Harvard University dan University of Maryland memeriksa data perdagangan di 35 industri di 65 negara, menghasilkan eksplorasi ekstensif tentang dampak ekonomi akibat dari distribusi vaksin yang tidak merata.
Baca Juga: Terus bermutasi, ini tips mencegah penularan virus corona varian baru menurut ahli
Jika orang-orang di negara berkembang tetap tidak bekerja karena penguncian yang diperlukan untuk menghentikan penyebaran virus, mereka akan memiliki lebih sedikit uang untuk dibelanjakan, mengurangi penjualan untuk eksportir di Amerika Utara, Eropa dan Asia Timur. Perusahaan multinasional di negara maju juga akan berjuang untuk mendapatkan suku cadang, komponen, dan komoditas yang dibutuhkan.
Melansir New York Times, inti dari cerita ini adalah kenyataan bahwa sebagian besar perdagangan internasional tidak melibatkan barang jadi tetapi suku cadang yang dikirim dari satu negara ke negara lain untuk kemudian dijadikan produk. Menurut Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, dari barang senilai US$ 18 triliun yang diperdagangkan tahun lalu, yang disebut barang setengah jadi mewakili US$ 11 triliun.
Baca Juga: Joe Biden: Jumlah kematian di AS karena corona bisa lampaui 500.000 orang bulan depan
Studi tersebut juga menemukan bahwa pandemi yang berlanjut di negara-negara miskin kemungkinan akan menjadi yang terburuk untuk industri yang sangat bergantung pada pemasok di seluruh dunia, di antaranya otomotif, tekstil, konstruksi dan ritel, di mana penjualan dapat menurun lebih dari 5%.
Temuan ini menambah lapisan rumit pada asumsi dasar bahwa pandemi akan membuat ekonomi dunia lebih tidak setara dari sebelumnya. Meskipun ini tampak benar, satu bentuk ketidaksetaraan yang mencolok - akses ke vaksin - dapat menimbulkan masalah universal.