Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
Sebagai langkah antisipasi, perencana militer AS telah mengembangkan konsep operasi terdistribusi dalam beberapa tahun terakhir, yang bertujuan menyebarkan pasukan ke berbagai lokasi di kawasan tersebut.
Melalui inisiatif Pacific Deterrence Initiative, AS telah menginvestasikan ratusan juta dolar untuk meningkatkan infrastruktur lapangan udara, termasuk di Australia dan Pulau Tinian.
Selain itu, Angkatan Udara AS juga meluncurkan program *Rapid Airfield Damage Recovery* (RADR), yang memungkinkan pembukaan kembali landasan pacu dengan cepat setelah serangan, meskipun serangan mendadak dalam jumlah besar dapat terjadi.
Baca Juga: Ecocare Indo Pasifik Catatkan Peningkatan Pendapatan 33% di Semester 1-2024
AS juga mengandalkan sistem pertahanan rudal, termasuk rencana jaringan pencegat berlapis senilai miliaran dolar untuk melindungi Guam, demi menjaga operasional lapangan udara dan pangkalan lainnya.
Seorang mantan perwira logistik Angkatan Udara AS yang akrab dengan simulasi konflik di Indo-Pasifik menyatakan bahwa laporan tersebut memberikan gambaran akurat tentang ancaman yang ada.
Meski demikian, perwira ini berpendapat bahwa program RADR dan pertahanan rudal mungkin lebih efektif dibandingkan yang diperkirakan dalam laporan tersebut.
Baca Juga: Tantang Dominasi Militer AS, Rusia dan China Mempererat Kerja Sama
Laporan ini menggunakan pemodelan statistik berbasis Python untuk menganalisis dampak serangan rudal Tiongkok, mempertimbangkan variabel seperti ukuran landasan pacu, akurasi senjata Tiongkok, dan pertahanan AS.
"Saya mendengar semakin banyak pembuat kebijakan dan analis yang optimis bahwa AS dapat mempertahankan Taiwan selama memiliki akses ke pangkalan di Jepang dan Guam," ujar Kelly Grieco, salah satu penulis laporan. "Namun, belum ada yang menguji klaim ini secara mendalam."