Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Serangan dari China terhadap lapangan udara di kawasan Indo-Pasifik dapat menghambat operasional pesawat militer Amerika Serikat (AS) jika terjadi konflik, menurut sebuah laporan terbaru.
Studi tersebut merekomendasikan agar AS berinvestasi dalam pengembangan pesawat nirawak murah serta peningkatan kemampuan perbaikan landasan pacu.
Masalah utama yang diidentifikasi para peneliti adalah bahwa pangkalan-pangkalan udara AS di gugus pulau pertama—rantai kepulauan yang membentang dari Indonesia hingga Jepang dan meliputi Laut China Selatan serta Laut Cina Timur—berada dalam jangkauan ribuan rudal Tiongkok.
Baca Juga: AS Tingkatkan Persenjataan Antikapal untuk Hadapi China di Indo-Pasifik
Laporan itu menyebutkan bahwa jika rudal tersebut digunakan untuk menghancurkan atau melumpuhkan landasan pacu, lapangan udara di Jepang dapat ditutup selama minimal 11,7 hari.
Sementara itu, lapangan udara yang lebih jauh seperti di Guam dan Kepulauan Pasifik dapat terganggu selama minimal 1,7 hari.
"Namun, secara praktis, Tiongkok dapat memperpanjang gangguan operasi tempur AS dengan mencegah penggunaan landasan pacu untuk pengisian bahan bakar udara," ungkap laporan tersebut.
Laporan berjudul "Cratering Effects: Chinese Missile Threats to US Air Bases in the Indo-Pacific" ini diterbitkan pada Kamis oleh Stimson Center, sebuah lembaga pemikir di bidang pertahanan dan keamanan.
Studi tersebut merekomendasikan agar AS segera berinvestasi dalam pengadaan pesawat nirawak murah dan teknologi peperangan elektronik untuk mempersulit perencanaan serangan Tiongkok. Kemudian, meminta AS mengembangkan pesawat berawak yang dapat beroperasi di landasan pacu pendek.
Baca Juga: Negara-negara Indo-Pasifik Berbonodong-Bondong Bergabung ke KTT NATO, Ada Apa?
Lalu, AS dapat meningkatkan kemampuan perbaikan landasan pacu dan ketahanan pangkalan. Serta memperkuat aliansi agar negara-negara mitra bersedia membuka lapangan udara mereka untuk digunakan AS.
Komando Indo-Pasifik AS, yang bertanggung jawab atas pasukan AS di kawasan ini, tidak memberikan komentar atas laporan tersebut. Begitu pula Kementerian Pertahanan China.
Sebagai langkah antisipasi, perencana militer AS telah mengembangkan konsep operasi terdistribusi dalam beberapa tahun terakhir, yang bertujuan menyebarkan pasukan ke berbagai lokasi di kawasan tersebut.
Melalui inisiatif Pacific Deterrence Initiative, AS telah menginvestasikan ratusan juta dolar untuk meningkatkan infrastruktur lapangan udara, termasuk di Australia dan Pulau Tinian.
Selain itu, Angkatan Udara AS juga meluncurkan program *Rapid Airfield Damage Recovery* (RADR), yang memungkinkan pembukaan kembali landasan pacu dengan cepat setelah serangan, meskipun serangan mendadak dalam jumlah besar dapat terjadi.
Baca Juga: Ecocare Indo Pasifik Catatkan Peningkatan Pendapatan 33% di Semester 1-2024
AS juga mengandalkan sistem pertahanan rudal, termasuk rencana jaringan pencegat berlapis senilai miliaran dolar untuk melindungi Guam, demi menjaga operasional lapangan udara dan pangkalan lainnya.
Seorang mantan perwira logistik Angkatan Udara AS yang akrab dengan simulasi konflik di Indo-Pasifik menyatakan bahwa laporan tersebut memberikan gambaran akurat tentang ancaman yang ada.
Meski demikian, perwira ini berpendapat bahwa program RADR dan pertahanan rudal mungkin lebih efektif dibandingkan yang diperkirakan dalam laporan tersebut.
Baca Juga: Tantang Dominasi Militer AS, Rusia dan China Mempererat Kerja Sama
Laporan ini menggunakan pemodelan statistik berbasis Python untuk menganalisis dampak serangan rudal Tiongkok, mempertimbangkan variabel seperti ukuran landasan pacu, akurasi senjata Tiongkok, dan pertahanan AS.
"Saya mendengar semakin banyak pembuat kebijakan dan analis yang optimis bahwa AS dapat mempertahankan Taiwan selama memiliki akses ke pangkalan di Jepang dan Guam," ujar Kelly Grieco, salah satu penulis laporan. "Namun, belum ada yang menguji klaim ini secara mendalam."