Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - SHANGHAI. Jumlah perusahaan China yang ingin mencatatkan sahamnya di Amerika Serikat terus meningkat tahun ini. Alasannya? Proses penawaran umum perdana alias initial public offering (IPO) di dalam negeri rumit dan ketat. Perusahaan juga berpeluang mendapatkan valuasi yang lebih tinggi di pasar AS.
Menurut firma hukum K&L Gates, pada paruh pertama 2025, ada 36 perusahaan China, sebagian besar perusahaan kecil dan menengah sudah melantai di bursa AS. Ini mengikuti rekor sebelumnya, yaitu 64 perusahaan sepanjang tahun 2024.
Banyak dari perusahaan ini menggunakan metode SPAC (Special Purpose Acquisition Company), yaitu perusahaan kosong yang sudah terdaftar dan dibuat khusus untuk mengakuisisi startup, sehingga startup bisa langsung menjadi perusahaan publik tanpa harus melalui proses IPO yang panjang.
Baca Juga: Aktivitas Sektor Jasa China dan Jepang Meningkat ke Laju Tertinggi
Saat ini, lebih dari 40 perusahaan China sedang menunggu giliran untuk mencatatkan saham di Nasdaq. Angka ini belum termasuk perusahaan yang mendaftar secara rahasia. Jika semua ini terwujud, maka jumlah IPO perusahaan China di AS tahun ini akan mencetak rekor baru.
"Ini tahun yang sehat bagi IPO perusahaan China. Mungkin akan jadi tahun rekor," kata David Bartz, partner di K&L Gates yang menangani banyak klien asal China yang ingin IPO di AS.
Sejak tahun 2023, pemerintah China memperketat aturan IPO di dalam negeri. Sekarang, perusahaan harus memenuhi syarat ukuran tertentu atau sudah untung untuk bisa mencatatkan saham di bursa utama. Jika ingin masuk bursa teknologi, perusahaan juga harus sejalan dengan target pembangunan nasional, seperti kemandirian teknologi atau produktivitas tertentu.
Proses persetujuan IPO di China sendiri bisa memakan waktu 9–12 bulan, dibandingkan 4–6 bulan di New York.
"Di AS, selama Anda memenuhi aturan objektif dari regulator, Anda bisa go public. Di China, prosesnya lebih subjektif, dan tergantung apakah regulator menilai perusahaan Anda layak," kata Steve Markscheid, mitra di Aerion Capital dan direktur independen beberapa perusahaan China yang sudah tercatat di AS.
Baca Juga: Investor China Sah Akuisisi Mayoritas Saham PGJO, Banderol Jauh di Bawah Harga Pasar
Meskipun hubungan AS-China sedang tidak menentu dan ada tekanan dari politisi AS untuk memperketat pengawasan terhadap perusahaan China, minat perusahaan asal China untuk masuk bursa AS tetap tinggi.
Salah satu contohnya adalah Xinghui Car Technology, produsen mobil balap. Pada bulan Juni, pimpinan perusahaan tersebut merayakan penandatanganan kesepakatan awal untuk diakuisisi oleh SPAC yang sudah terdaftar di Nasdaq, UY Scuti. "Pasar modal AS adalah salah satu yang terbesar dan paling likuid di dunia," kata Ketua Xinghui, Song Wenfang dikutip Reuters.
Hingga Maret 2025, lebih dari 100 perusahaan China termasuk raksasa seperti Alibaba, JD.com, dan Baidu sudah terdaftar di bursa AS dengan total nilai pasar sekitar US$ 1 triliun, menurut Komisi U.S. China Economic and Security Review.
IPO terbesar perusahaan China di AS tahun ini datang dari jaringan teh Chagee, yang berhasil menghimpun dana US$ 411 juta saat debut di Nasdaq pada bulan April.
Lonjakan jumlah perusahaan China yang masuk ke pasar AS membuat sejumlah anggota parlemen AS khawatir soal isu keamanan nasional. Pada Juni, Komisi Sekuritas dan Bursa AS (SEC) bahkan menyoroti China secara khusus dan berupaya meningkatkan transparansi untuk perusahaan asing yang ingin mencatatkan sahamnya.
Meski begitu, banyak startup teknologi China, termasuk yang belum untung atau bahkan belum menghasilkan pendapatan, tetap memilih jalur SPAC untuk mencari modal lebih cepat.
Baca Juga: China, AS dan India Jadi Pangsa Ekspor Indonesia yang Terbesar hingga Juni 2025