Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - BEIJING. China mempersiapkan diri menghadapi lonjakan kematian terkait COVID-19 yang tak terhindarkan. Hal ini terjadi setelah kasus COVID-19 melonjak tinggi menyusul dilonggarkannya kebijakan "nol-COVID" Beijing.
Melansir Fox News, aksi unjuk rasa yang meluas mendorong pemerintah untuk melonggarkan pembatasan yang ketat. Kebijakan tersebut disalahkan banyak orang di China karena dinilai berkontribusi pada 10 kematian yang terjadi dalam kebakaran dalam sebuah gedung apartemen.
Perubahan mendadak membuat sistem perawatan kesehatan China tidak siap. Mereka berebut untuk menemukan persediaan tempat tidur hingga obat-obatan untuk menopang klinik saat kasus COVID-19 meledak.
Kota-kota besar di Tiongkok, termasuk Beijing, Shanghai, Chengdu, dan Wenzhou, telah menambah puluhan ribu klinik demam ke rumah sakit. Bahkan arena olahraga juga dikerahkan untuk membantu menyaring penduduk. Pejabat kesehatan China juga menghentikan laporan kasus COVID-19 tanpa gejala.
Tetapi para ahli telah memperkirakan bahwa China dapat melihat lebih dari satu juta kematian terkait COVID tahun depan.
Baca Juga: Alasan Mengapa WHO Mencemaskan Laporan Kasus COVID-19 China yang Parah
Menurut Our World in Data, lonjakan pada bulan Maret tahun ini memuncak dengan angka rata-rata mencapai 26.570. Sementara gelombang saat ini sudah memuncak pada angka rata-rata di 40.791 kasus.
Seorang saksi Reuters melihat antrean sekitar 40 mobil jenazah menunggu untuk memasuki tempat parkir di luar krematorium untuk membawa 20 peti mati.
Tampak pula staf mengenakan pakaian hazmat dan asap mengepul dari beberapa tungku. Akan tetapi masih belum dikonfirmasi – meskipun kemungkinan besar – bahwa kematian akibat COVID-19.
Beberapa penduduk melaporkan, mereka harus menunggu hingga berhari-hari untuk mengkremasi kerabatnya yang meninggal dunia. Atau, mereka harus membayar biaya tinggi untuk mendapatkan "pengaturan cepat".
Direktur Kedaruratan WHO Mike Ryan berpendapat bahwa virus telah menyebar pada tingkat yang signifikan sebelum kembalinya "nol-COVID" karena "langkah-langkah pengendalian itu sendiri tidak menghentikan penyakit."
Baca Juga: Khawatir Gelombang COVID-19 China yang Baru, Dunia Pikirkan Cara Membantu Xi Jinping
Bagian dari kesulitannya terletak pada kurangnya vaksinasi yang signifikan di China. Sebelum Desember, China hanya memberikan 100.000 hingga 200.000 dosis sehari. Jumlah itu melonjak menjadi lebih dari 1,43 juta pada 13 Desember saja.
China menolak selama bertahun-tahun untuk mengadopsi vaksin dari Barat. Sebagai gantinya, China mengandalkan vaksin Sinopharm yang tidak menggunakan model mRNA, yang memperkenalkan templat sel untuk menghasilkan antigen tanpa membuat seseorang terpapar virus yang sebenarnya.
Vaksin yang lebih baru juga memungkinkan penskalaan yang lebih cepat dan produksi yang lebih cepat dibandingkan dengan model vaksin yang lebih lama.
Dan setelah banyak penundaan dan pertimbangan, China menyetujui penggunaan vaksin Pfizer-BioNTech, dengan gelombang pertama dikirim pada hari Rabu. Tidak ada rincian tentang ukuran atau waktu pengiriman yang tersedia.
Vaksin ini hanya tersedia untuk orang Jerman yang tinggal di China, tetapi Beijing juga akan mempertimbangkan untuk menggunakan vaksin tersebut untuk warga negara China. Sekitar 20.000 orang Jerman tinggal di negara itu. Warga negara China di Jerman akan dapat menerima SinoVac China sebagai gantinya.
WHO cemas
Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan organisasi internasional tersebut sangat prihatin dan cemas dengan meningkatnya laporan penyakit virus corona yang parah di seluruh China.
Seperti yang diketahui, laporan penyebaran COVID yang parah di China terjadi setelah negara itu melonggarkan kebijakan "nol COVID".
WHO memperingatkan, tingkat vaksinasi yang lambat dapat mengakibatkan sejumlah besar orang yang rentan terinfeksi.
Baca Juga: Angka Kematian Covid-19 China Diramal Bisa Mendekati 1 Juta Orang di 2023
Melansir Associate Press, pada konferensi pers yang digelar Rabu (21/12/2022), Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan badan PBB membutuhkan lebih banyak informasi tentang tingkat keparahan COVID-19 di China. Hal ini terutama mengenai penerimaan rumah sakit dan unit perawatan intensif, untuk membuat penilaian risiko yang komprehensif dari situasi tersebut.
“WHO sangat prihatin dan cemas dengan perkembangan situasi di China dengan meningkatnya laporan penyakit parah,” kata Tedros.
Dia menambahkan, meskipun kematian akibat COVID telah turun lebih dari 90% sejak puncak globalnya, masih ada terlalu banyak ketidakpastian tentang virus tersebut untuk menyimpulkan bahwa pandemi telah berakhir.