Sumber: The Street | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - Setelah hampir sebulan pasca tuduhan eksplosif yang dirilis Hindenburg Research, kerajaan miliarder Gautam Adani terus berdarah-darah.
Grup Adani masih belum berhasil menghapus keraguan dan pertanyaan perusahaan investasi yang berbasis di New York, Amerika Serikat (AS). Hindenburg menuduh kerajaan miliarder itu, yang pada akhir Januari masih menjadi orang terkaya di Asia, melakukan manipulasi harga saham, penipuan, dan pencucian uang.
Adani Group menolak tuduhan tersebut namun belum meyakinkan pasar.
Grup industri ini, dengan kepentingan di pelabuhan, pusat data, energi, bandara, dan lainnya, telah berkembang pesat, seiring dengan ambisi pembangunan Perdana Menteri India Narendra Modi untuk negara tersebut. Pendiri Gautam Adani dan Modi dekat, menurut pers lokal.
Baca Juga: Investor Saham Terbesar di Dunia Jual Sisa Saham di Perusahaan Adani
Grup Adani telah mengalami penurunan tajam di pasar saham, setelah kehilangan kapitalisasi pasar lebih dari US$ 135 miliar atau setara Rp 2.052 triliun (kurs Rp 15.200) pada 20 Februari, menurut perhitungan Bloomberg News. Ini lebih dari setengah nilai pasarnya.
Kekalahan pasar saham ini, yang dimulai setelah publikasi laporan Hindenburg pada 24 Januari, terus berlanjut.
Selama sesi perdagangan 21 Februari di Bursa Efek Mumbai, sebagian besar entitas yang membentuk konglomerat Adani berakhir lebih turun.
Adani Enterprises, unggulan, mengakhiri sesi turun 3,16%, Adani Green Energy turun 5%, Adani Total Gas turun 5% dan Adani Transmission turun 4,99%.
Pertumpahan darah pasar saham ini juga telah memotong kekayaan bersih Adani secara tajam. Miliarder, yang memulai tahun ini sebagai salah satu dari lima orang terkaya di dunia, sekarang berada di luar 20 besar.
Baca Juga: Oposisi Parlemen India Protes, Kapitalisasi Pasar Grup Adani Tergerus US$ 112 Miliar
Kekayaan bersihnya menyusut hampir US$ 72 miliar tahun ini menjadi US$ 49,1 miliar pada 20 Februari, menurut Indeks Miliarder Bloomberg.
Runtuhnya kerajaan Adani menimbulkan pertanyaan, kata para ahli, tentang kemampuan India menjadi alternatif bagi China untuk investasi asing.