Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - LONDON. Korban tewas akibat Covid-19 Inggris saat ini mendekati angka 100.000. Para kerabat yang dilanda kedukaan mendalam mengungkapkan kemarahan mereka atas penanganan yang dilakukan Perdana Menteri Boris Johnson terhadap krisis kesehatan masyarakat terburuk dalam satu abad.
Reuters memberitakan, pada saat virus corona baru, yang pertama kali muncul di China pada 2019, menyebar diam-diam di seluruh Inggris pada Maret, Johnson awalnya mengatakan dirinya yakin hal tersebut bisa ditangani dalam beberapa minggu.
Tetapi, kini, angka kematian Covid-19 Inggris sudah mencapai 98.531. Itu artinya, Inggris memiliki jumlah kematian resmi terburuk kelima di dunia - lebih dari jumlah korban sipil dalam Perang Dunia Kedua dan dua kali jumlah yang tewas dalam kampanye pengeboman Blitz 1940-41, meskipun total populasinya lebih rendah saat itu.
Di balik angka-angka itu, ada kesedihan dan kemarahan yang dirasakan warga Inggris.
Baca Juga: PM Inggris: Varian baru virus corona mungkin lebih mematikan
Ayah Jamie Brown yang berusia 65 tahun meninggal pada akhir Maret setelah diduga tertular Covid-19 saat bepergian dengan kereta api ke London untuk bekerja. Pada saat itu, pemerintah sedang mempertimbangkan penutupan.
Saat ada pengumuman oleh petugas medis untuk tetap tinggal di rumah, dia terbangun beberapa hari kemudian dengan dada sesak, disorientasi dan mual, dan dibawa ke rumah sakit dengan ambulans. Dia meninggal karena serangan jantung lima menit setelah tiba.
Baca Juga: Jika negara miskin tidak divaksinasi, negara kaya yang akan menderita
Putranya mengatakan virus telah merusak paru-parunya hingga jantungnya menyerah. Padahal, dia tinggal sebulan lagi dari masa pensiun.
“Bagi saya, sungguh menakutkan dan mengerikan melihat segala sesuatu yang Anda harap dirampas. Dia tidak akan pernah ada di pernikahanku; dia tidak akan pernah bertemu dengan cucunya,” kata Brown kepada Reuters.
“Kemudian, Anda melihat jumlah korban tewas meningkat sementara para menteri menepuk punggung mereka dan memberi tahu Anda betapa bagusnya pekerjaan yang telah mereka lakukan. Ini berubah dengan sangat cepat dari kesedihan pribadi menjadi kesedihan kolektif," tambahnya.
Beberapa ilmuwan dan politisi oposisi mengatakan Johnson bertindak terlalu lambat untuk menghentikan penyebaran virus dan kemudian sangat ceroboh dalam hal strategi pemerintah maupun pelaksanaan tanggapannya tehadap virus corona.
Johnson telah menolak seruan untuk penyelidikan tentang penanganan krisis dan para menteri mengatakan bahwa meskipun mereka tidak melakukan segalanya dengan benar, mereka membuat keputusan dengan cepat dan memiliki program vaksinasi global terbaik.
Korban tewas Inggris Raya - yang didefinisikan sebagai mereka yang meninggal dalam 28 hari setelah tes positif - naik menjadi 98.531 pada hari Senin. Jumlah korban telah meningkat rata-rata lebih dari 1.000 per hari selama tujuh hari terakhir.
Dalam serangkaian investigasi, Reuters telah melaporkan bagaimana pemerintah Inggris membuat beberapa kesalahan: lambat untuk menemukan infeksi yang datang, terlambat dengan penguncian dan terus mengeluarkan pasien rumah sakit yang terinfeksi ke rumah perawatan.
Baca Juga: Inilah tips dari ahli kesehatan untuk mencegah Covid-19 akibat mutasi virus corona
Kepala penasihat ilmiah pemerintah, Patrick Vallance, mengatakan pada Maret bahwa 20.000 kematian akan menjadi hasil yang baik. Segera setelah itu, skenario terburuk yang disiapkan oleh penasihat ilmiah pemerintah dengan menyebutkan kemungkinan korban tewas mencapai 50.000.
Banyak orang yang berduka marah dan menginginkan penyelidikan publik segera untuk belajar dari tanggapan pemerintah.
Ranjith Chandrapala meninggal pada awal Mei di rumah sakit yang sama tempat dia membawa penumpang ke dan dari busnya.
Baca Juga: Selain lebih menular, varian baru virus corona di Inggris juga lebih mematikan
Putrinya, Leshie, mengatakan pria 64 tahun itu langsing, sehat dan tidak pernah absen seharian menjadi sopir bus dalam 10 tahun terakhir.
Dia mengatakan dia tidak diberi masker - dia membelinya sendiri - dan penumpang tidak disuruh memakainya.
“Penanganan krisis yang dilakukan pemerintah lalai, tidak bisa dimaafkan,” ujar Leshie. "Orang-orang yang berkuasa baru saja mengirim orang-orang ini melewati jalur tanpa perlindungan."
Chandrapala berhenti bekerja pada 24 April setelah mengalami gejala COVID-19. Dia meninggal dalam perawatan intensif 10 hari kemudian, dengan keluarganya tidak dapat mengucapkan selamat tinggal secara langsung.
Pada awal pandemi pada bulan Maret, salah satu dokter paling senior di Inggris mengatakan kepada publik bahwa memakai masker wajah dapat meningkatkan risiko infeksi. Pemerintah baru mewajibkan penutup wajah bagi penumpang di Inggris pada 15 Juni.
Baca Juga: Boris Johnson: Ada bukti bahwa varian baru virus corona di Inggris lebih mematikan
Hampir 11 bulan setelah Inggris mencatat kematian pertamanya, beberapa rumah sakit Inggris terlihat seperti "zona perang", kata Vallance, ketika dokter dan perawat memerangi lebih banyak varian menular dari virus korona SARS-CoV-2 yang dikhawatirkan para ilmuwan bisa lebih mematikan.
Di garis depan Covid-19, pasien dan petugas medis berjuang untuk hidup.
Joy Halliday, seorang konsultan dalam perawatan intensif dan pengobatan akut di Rumah Sakit Universitas Milton Keynes, mengatakan "benar-benar memilukan" bagi staf melihat begitu banyak pasien meninggal.
"(Pasien) memburuk dengan sangat, sangat cepat, dan mereka berubah dari berbicara dengan Anda dan terlihat sangat baik, menjadi 20 menit kemudian tidak lagi berbicara dengan Anda, hingga 20 menit kemudian tidak lagi hidup," katanya.
“Itu sangat sulit bagi semua orang.”