kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kemenangan Emmanuel Macron sebagai Presiden Prancis Dinilai Kemenangan Ukraina


Kamis, 28 April 2022 / 14:39 WIB
Kemenangan Emmanuel Macron sebagai Presiden Prancis Dinilai Kemenangan Ukraina
ILUSTRASI. Presiden Prancis Emmanuel Macron, kandidat untuk pemilihan dirinya kembali, bereaksi diatas panggung setelah hasil sebagain di putaran perrtama pemilu presiden Prancis 2022, di Paris, Prancis, Minggu (10/4/2022). /REUTERS/Benoit Tessier


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Hasil pemilu Prancis yang memenangkan calon presiden petahana Emmanuel Macron dapat dilihat sebagai kemenangan bagi Ukraina mengingat sikapnya selama ini yang cenderung menentang tindakan invasi Rusia.

“Kemenangan petahana Presiden Macron dalam pemilu Prancis sangat penting karena menentukan konsistensi sikap Eropa Barat dan pakta pertahanan NATO secara umum terhadap invasi Rusia ke Ukraina,” tutur Algooth Putranto, pengamat Ilmu Komunikasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sahid dalam keterangannya, Kamis (28/4).

Posisi Prancis sangat vital mengingat beberapa hal. Pertama, secara geografi Prancis merupakan sebagai negara Eropa terbesar ketiga setelah Rusia dan Ukraina. 

Kedua, secara ekonomi, Prancis adalah salah satu negara yang menginisiasi terbentuknya lembaga Uni Eropa sebagai solusi pasca perang panjang di Eropa

Baca Juga: Emmanuel Macron Belum Bisa Bernafas Lega, Laga Berikutnya Pemilihan Parlemen di Juni

Tidak hanya itu, lanjutnya, Prancis juga bukan hanya bagian dari ekonomi ‘regional’ Eropa dan struktur politik, tetapi juga telah diintegrasikan ke dalam sistem ‘global’. “Hasil pemilu Prancis memastikan dukungan Eropa Barat bagi Ukraina.”

Sebelum hasil pemilu diumumkan, lanjut Algooth, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan secara terbuka bahwa dialognya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin telah terhenti setelah pembunuhan massal ditemukan di Ukraina.

“Artinya Macron memiliki sikap yang lebih jelas dan tegas. Meski demikian, patut dicatat di antara pemimpin Eropa, Macron adalah pemimpin yang tetap membuka kemungkinan dialog dengan Moskow meski terbukti berkali tidak jujur dan ngawur,” tuturnya.

Pada sisi lain, Prancis tetap mengirimkan sejumlah artileri berat ke Ukraina bersamaan semakin banyak negara Barat yang mengirimkan persenjataan berat ke Kiev untuk membantu dalam melawan pasukan Moskow.

Baca Juga: Macron Mengalahkan Le Pen dalam Pemilihan Presiden Prancis, Ini Faktor Kemenangannya

“Sikap Prancis yang tetap membuka pintu dialog namun memberikan bantuan militer kepada Ukraina tidak lepas dari sejarah Prancis yang unik dalam pakta pertahanan NATO. Mereka ini keras kepala dan tak mau kalah dengan Amerika Serikat,” paparnya.

Tidak seperti negara lain yang ngebet bergabung dengan NATO, Prancis merupakan negara di Eropa yang paling memegang peranan penting dalam memobilisasi keamanan internasional baik melalui NATO dan PBB, dan merupakan satu di antara lima negara pemegang Hak Veto di PBB.

Peran Prancis dalam NATO tak terbantahkan karena merupakan satu dari sejumlah negara pendiri yang meneken perjanjian pakta NATO pada 4 April 1949 yang dibentuk karena adanya kekhawatiran negara-negara Eropa Barat dan Amerika akan ancaman keamanan dari dominasi Uni Soviet di wilayah Eropa yang dikhawatirkan dapat mengancam integritas dan stabilitas Eropa. 

Namun saat dipimpin Presiden Charles de Gaulle justru pernah memutuskan keluar dari komando NATO pada Maret 1966. Saat itu, de Gaulle bahkan memerintahkan pakta pertahanan itu menutup markas mereka di Prancis. 

Baca Juga: Emmanuel Macron Perlebar Keunggulan Jelang Putaran Kedua Pilpres Prancis

Alasannya, Prancis tidak ingin terjebak dalam konflik Blok Barat dan Blok Timur. Meski keluar dari komando NATO, Prancis tetap tergabung dengan NATO. Artinya Prancis tidak terlibat dalam perencanaan kebijakan NATO.

Prancis kembali menjadi bagian anggota penuh NATO di masa Presiden Nicolas Sarkozy yang terpilih pada tahun 2007. Keputusan tersebut terhitung kontroversial karena pada 2003 Prancis menentang keras invasi Amerika Serikat ke Irak karena bermodalkan kabar bohong senjata pemusnah massal atau weapon of mass destruction.




TERBARU

[X]
×