Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Serangkaian krisis yang terus bergulir semakin menenggelamkan ekonomi sejumlah negara berkembang. Setelah pandemi Covid-19, kenaikan harga pangan dan energi semakin mencengkeram negara-negara tersebut.
Krisis-krisis tersebut telah berubah menjadi bencana utang yang lebih luas bagi negara-negara berkembang seperti Sri Lanka, Mesir, Tunisia dan Peru. Serta jadi ancaman bagi pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) secara agresif dengan kenaikan bunga The Fed akan semakin mengancam negara berkembang di tengah tumpukan utang dalam penanganan pandemi. Biaya utang yang harus mereka tanggung akan membengkak. Kondisi ini akan cenderung memacu arus keluar modal.
Sementara perang Rusia dan Ukraina yang telah memicu guncangan pangan dan energi belakangan, baru menunjukkan sedikit sinyal akan berakhir.
Baca Juga: Dibanding Negara Lain, Menkeu: Indonesia Lebih Tahan Menghadapi Tapering The Fed
Sejumlah risiko tersebut telah mendorong Sri Lanka ke ambang default atau gagal bayar utang obligasinya. Negara berkembang lain seperti Pakistan, Tunisia, Ethiopia dan Ghana juga sedang berada dalam bahaya serupa, menurut data Bloomberg Economic.
Kenaikan harga komoditas memang memberi keuntungan bagi negara berkembang eksportir komoditas. Masalahnya, China sebagai salah satu importir sedang melakukan lockdown di sejumlah kota-kota utama karena peningkatan kasus Covid-19 belakang. Sementara di Eropa dan AS meningkat kekhawatiran bahwa ekonominya jatuh ke dalam resesi.
Pembuat kebijakan ekonomi top dunia telah membunyikan alarm. Dalam pertemuan IMF dan Bank Dunia di Washington minggui ini, tema yang diangkat adalah pelambatan ekonomi global dan peningkatan resiko di negara-negara berkembang baik yang terlihat maupun yang tidak.
IMF dalam outlook ekonomi dunia terbarunya menyamakan dampak perang di Eropa dengan gelombang seismik yang akan menggulung ekonomi global. Bahkan, IMF memperingatkan ada potensi pasar negara berkembang semacam lingkaran malapetaka yang menyebabkan Rusia mengalami default pada tahun 1998 dan membawa hedge fund Long Term Capital ke ambang kehancuran.
Bank Dunia telah memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global dan mengumumkan pembuatan paket penyelamatan senilai US$ 170 miliar untuk negara-negara yang dilanda krisis.
"Kita bisa melihat bangkai kereta ini datang ke arah kita. Kombinasi goncanagan ekonomi rill dan pengetatan pasar keuangan akan mendorong sejumlah negara berpenghasilan rendah ke dalam restrukturisasi utang," kata John Lipsky, Direktur Pelaksana IMF seperti dikutip Bloomberg, Kamis (21/4).
Kegagalan terbesar yang menjulang di negara-negara berkembang adalah di Rusia. Keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin menyerang Ukraina telah membawa sanksi, isolasi ekonomi, dan janji untuk membayar utang hanya dalam rubel — yang kemungkinan akan dianggap sebagai pelanggaran komitmen, yang memicu kerugian bagi investor.
Namun, peran Rusia sebagai agresor yang terkena sanksi menjadikannya kasus yang unik.
Sementara Sri Lanka, untuk saat ini, berada di garda depan dari potensi krisis yang lebih luas. Mata uang negara itu turun hampir 40% tahun ini.
Ketidakpastian itu telah mendorong unjuk rasa yang menyerukan agar Presiden Gotabaya Rajapaksa mengundurkan diri bahkan di saat pemerintahnya mencoba untuk menegosiasikan bantuan dengan IMF dan kekuatan Asia seperti China dan India.
Sri Lanka mungkin yang pertama. Tapi itu tidak sendirian. Sekitar 13 negara berkembang memiliki perdagangan obligasi setidaknya 1.000 basis poin di atas US Treasury, naik dari enam tahun lalu.
Default pada utang negara berkembang melonjak pada minggu-minggu pertama perang Ukraina, menunjukkan meningkatnya ketakutan akan default. Meskipun sudah turun setelahnya namun masih masih sekitar 90 basis poin di atas rata-rata tahun lalu.
Bloomberg Economics, yang mencatat risiko untuk negara-negara berkembang, menempatkan Turki dan Mesir di urutan teratas daftar pasar negara berkembang utama yang terpapar dampak perang Ukraina. Dan peringkat Tunisia, Ethiopia, Pakistan, Ghana, dan El Salvador — dengan stok utang besar dan biaya pinjaman yang telah meningkat lebih dari 700 basis poin sejak 2019.
Sementara, Bank Dunia menghitung, 60% negara berpenghasilan rendah sudah berada dalam kesulitan utang atau berisiko tinggi. "Sejauh ini, masalahnya sedang terjadi di tempat di luar layar radar" yang tidak terlalu diperhatikan oleh investor," kata Kepala Ekonom Bank Dunia, Carmen Reinhart.
Baca Juga: Krisis Ekonomi Memburuk, Kerusuhan Meletus di Sri Lanka