Sumber: South China Morning Post,CNBC | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Perang dagang menghasilkan momok yang sangat ditakuti pelaku industri. Salah satunya adalah kenaikan tarif. Mengutip CNBC, kenaikan tarif menggerus laba yang bisa dikantongi perusahaan.
Berkaitan dengan hal ini, sejumlah perusahaan di Asia memilih untuk pulang kampung untuk memproduksi sendiri barang-barang mereka. Pilihan lainnya adalah memindahkan pabrik mereka dari China ke tempat lain.
Baca Juga: The Fed: Ketidakpastian perdagangan hapus produksi global senilai Rp 12.070 triliun!
Berdasarkan analisa Nomura terhadap 56 perusahaan, tren pulang kampung atau memindahkan produksi ke tempat lain banyak dilakukan oleh pelaku industri yang bergerak di sektor permodalan mesin dan elektronik di Jepang dan Taiwan. Mereka terpaksa mengambil langkah ini untuk menghindari tarif impor AS yang lebih tinggi ketimbang China.
Seperti yang diketahui, AS dan China terlibat dalam perang dagang yang kian memanas selama lebih dari satu tahun. Kedua belah pihak telah memberlakukan sejumlah putaran kenaikan tarif balasan untuk barang-barang masing negara senilai miliaran dollar. Teranyar, AS dan China sama-sama memberlakukan trif baru pada Minggu (1/9) kemarin.
Baca Juga: Bank Dunia: Defisit Indonesia naik, capital outflow membahayakan ekonomi Indonesia
Nomura bilang, sebagai akibat dari perang dagang, Taiwan menjadi salah satu negara yang sangat diuntungkan karena menjadi pilihan negara-negara yang memindahkan produksinya.
Data yang dihimpun South China Morning Post dari Kementerian Urusan Ekonomi Taiwan menunjukkan, sekitar 40 perusahaan Taiwan mencari lokasi untuk memindahkan pabrik mereka kembali ke Taiwan dari China.
Pemerintah Taipei sendiri telah mempromosikan "Invest Taiwan" sebagai inisiatif yang bertujuan untuk menarik perusahaan untuk kembali berinvestasi di negara asalnya. Di bawah program ini, perusahaan dapat mengajukan pinjaman murah untuk menutup biaya relokasi.
Baca Juga: Pengusaha tekstil Indonesia jajaki peningkatan kerjasama dengan pengusaha AS
Sebagai contoh, pembuat papan sirkuit Flexium dan komputer Quanta memilih untuk pulang kampung. SK Hynix, pembuat chip terbesar kedua di dunia, juga ingin memindahkan produksi modul chip tertentu kembali ke Korea Selatan.
Adapun perusahaan Jepang, Mitsubishi Electric mengalihkan produksi peralatan mesin yang terikat dengan AS dari pabrikannya di Dalian, China ke Nagoya di Jepang. Menurut Nomura dengan mengutip The Japan Times dan The Asahi Shimbun, produsen mesin Toshiba Machine dan Komatsu juga merencanakan langkah yang sama.
Baca Juga: Garap pasar AS, ekspor mebel Indonesia bersaing ketat dengan Vietnam
"Tren ini konsisten dengan perbedaan ekspor yang terlihat di Asia baru-baru ini sebagai akibat dari pengalihan perdagangan," tulis ekonom Nomura Sonal Varma dan Michael Loo dalam sebuah laporan yang dirilis Rabu seperti yang dikutip dari CNBC.
Ekonom Nomura juga bilang, perusahaan komputer asal AS, Dell, juga mulai mencemaskan mengenai kenaikan biaya tenaga kerja di China. Mereka juga mengambil kesempatan dari penurunan akibat perang dagang untuk mempercepat pemindahan pabrik mereka keluar dari China.
Catatan Nomura, hampir separuh dari perusahaan yang ingin memindahkan pabriknya dari China merupakan perusahaan AS dan Taiwan.
Baca Juga: Bank Dunia: Indonesia terancam mengalami capital outflow besar
Laporan tersebut dirilis menyusul adanya permintaan Presiden AS Donald Trump agar perusahaan-perusahaan Amerika memindahkan produksinya dari China. Pada 23 Agustus, Trump menuliskan cuitan di Twitter yang isinya memerintahkan perusahaan-perusahaan AS untuk "segera mulai mencari alternatif selain China" dan meproduksi produk mereka di rumah.
Jika dilihat secara industri, tiga sektor yang mendominasi relokasi dari China adalah elektronik, diikuti oleh pakaian, sepatu dan tas, dan peralatan listrik.
Baca Juga: China dan AS gelar pembicaraan tingkat tinggi bulan depan. Perang dagang mereda?
“Ini bukan hanya pengalihan perdagangan jangka pendek; relokasi produksi jangka menengah juga telah dimulai,” kata laporan Nomura.
Meski demikian, kenaikan tarif bukan satu-satunya alasan yang mendorong perpindahan pabrik.
"Sementara meningkatnya ketegangan perdagangan dan kebutuhan untuk mengurangi risiko adalah alasan utama untuk relokasi produksi jauh dari China, beberapa perusahaan juga mengutip risiko keamanan siber sebagai alasan," tambah ekonom Nomura.
Baca Juga: Perang dagang menekan harga ICP bulan Agustus ke level US$ 57,27 per barel
Mereka yang diuntungkan
Nomura menyebut, negara yang paling diuntungkan dari perang dagang terutama di Asia adalah Vietnam, Taiwan dan Thailand. Di luar Asia, Meksiko paling menonjol.
Menurut analisis Nomura, Vietnam adalah satu-satunya negara yang menarik perusahaan dari industri bernilai tambah rendah, seperti garmen dan barang konsumen tahan lama, serta sektor bernilai tambah tinggi - seperti elektronik.
Manfaat bagi Meksiko sebagian besar di sektor elektronik dan peralatan listrik.
Baca Juga: Bank Dunia: Terlalu fokus kurangi CAD, pertumbuhan ekonomi Indonesia lesu
Meskipun ada pergeseran, pasar masif China masih menjadi kekuatan yang harus diperhitungkan.
"Mengingat ukuran pasar domestik China yang besar dan kapasitas yang terbatas di tempat lain, ada banyak alasan bagi perusahaan untuk mempertahankan sebagian besar produksi mereka di China," catat mereka.