Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
China menjadi pembeli utama emas dalam tren ini, disusul oleh India dan Turki. Namun, sejumlah analis menilai tren pembelian oleh bank sentral mulai melambat.
Menurut Hamad Hussain, ekonom di Capital Economics, bank sentral diperkirakan masih akan membeli emas, namun dengan kecepatan yang lebih rendah dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Ia menyebut bahwa emas tetap menarik sebagai lindung nilai terhadap risiko fiskal, inflasi, dan geopolitik global, terutama di tengah melemahnya persepsi terhadap dolar AS sebagai aset aman.
Baca Juga: Emas Jadi Primadona di Tengah Kisruh Dagang AS-China
Data dari World Gold Council menunjukkan bahwa pembelian emas oleh bank sentral turun 33% secara kuartalan pada tiga bulan pertama 2025. Di sisi lain, China juga mencatatkan penurunan pembelian emas secara signifikan.
Janet Mui, Kepala Analis Pasar di RBC Brewin Dolphin, memperkirakan momentum pembelian emas akan melemah dalam jangka pendek akibat harga yang sudah tinggi. Namun, dalam jangka panjang, ketidakpastian geopolitik dan keinginan untuk mendiversifikasi cadangan akan tetap mendukung akumulasi emas.
Menurutnya, kebijakan perdagangan AS yang semakin proteksionis mendorong negara mitra dagang untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS dan memperbesar kepemilikan cadangan non-dolar, termasuk emas.
Meski permintaan dari bank sentral meningkat, mayoritas permintaan emas dunia, sekitar 70%, masih berasal dari sektor perhiasan dan investasi.
Baca Juga: Jelang Rapat The Fed, Harga Emas Tertekan Kenaikan Dolar dan Imbal Hasil Obligasi AS
ECB mencatat bahwa dampak geopolitik terhadap harga emas ke depan akan sangat bergantung pada kapasitas pasokan global.
Pasokan emas, termasuk dari stok di atas tanah, selama beberapa dekade terakhir cukup responsif terhadap lonjakan permintaan. Karena itu, ECB memperkirakan peningkatan permintaan resmi terhadap emas masih dapat diimbangi dengan pertumbuhan pasokan global.