Sumber: Al Jazeera | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Korea Utara telah mengambil langkah provokatif dengan menghancurkan sebagian jalan dan rel kereta yang menghubungkan negara tersebut dengan Korea Selatan, serta menyebut tetangganya sebagai "negara yang bermusuhan."
Tindakan ini dilaporkan oleh media negara, Korean Central News Agency (KCNA), pada hari Kamis.
Penghancuran Infrastruktur Sebagai Taktik Pemisahan
Menurut KCNA, Angkatan Bersenjata Rakyat Korea menghancurkan dua segmen sepanjang 60 meter dari jalan dan rel kereta di sepanjang perbatasan antar-Korea, baik di bagian timur maupun barat. Tindakan ini dianggap sebagai bagian dari “pemisahan lengkap yang bertahap” antara Korea Utara dan Selatan.
Pernyataan resmi tersebut menegaskan bahwa langkah ini adalah “ukuran yang tak terhindarkan dan sah” yang diambil sesuai dengan ketentuan konstitusi DPRK yang secara tegas mendefinisikan ROK (Korea Selatan) sebagai negara yang bermusuhan.
Baca Juga: Ubah Konstitusi, Korea Utara Tetapkan Korea Selatan Sebagai Negara Musuh
KCNA menyebutkan bahwa langkah tersebut diambil karena keadaan keamanan yang serius dan kemungkinan perang yang tidak terduga akibat provokasi politik dan militer yang parah dari kekuatan musuh.
Pernyataan Pemimpin Korea Utara
Pernyataan ini muncul setelah Majelis Rakyat Tertinggi Korea Utara bertemu minggu lalu untuk merombak konstitusi negara tersebut.
Dalam pidatonya kepada parlemen, pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, menyatakan bahwa reunifikasi dengan Korea Selatan tidak lagi mungkin dan bahwa konstitusi harus diubah untuk mendefinisikan tetangganya sebagai negara "musuh" yang terpisah.
“Kami tidak menginginkan perang, tetapi kami tidak berniat untuk menghindarinya,” kata Kim dalam pidatonya, seperti yang dikutip oleh KCNA.
Reaksi Korea Selatan dan Meningkatnya Ketegangan
Pada hari Selasa, Kepala Staf Gabungan Korea Selatan mengumumkan bahwa militer Korea Utara telah meledakkan bagian utara dari jalan yang tidak terpakai yang membagi kedua negara.
Baca Juga: Rusia Siap Kirim Bantuan Militer ke Korea Utara dalam Situasi Darurat
Ketegangan antara kedua negara, yang secara teknis masih dalam keadaan perang sejak berakhirnya Perang Korea 1950-1953 tanpa perjanjian damai, semakin meningkat sejak keruntuhan perjanjian militer 2018 yang bertujuan untuk mengurangi risiko bentrokan militer di sepanjang perbatasan.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Korea Utara mengancam akan melakukan “retaliasi” terhadap Korea Selatan setelah menuduhnya mengoperasikan drone pengangkut selebaran propaganda di atas ibu kota Pyongyang.
Menanggapi klaim tersebut, Kepala Staf Gabungan Korea Selatan meminta agar Korea Utara “berhati-hati dan tidak bertindak sembarangan.”