Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
"Perubahan berthap ini berubah menjadi de facto karena perusahaan harus mencari rencana alternatif saat tingkat ketidakpastian sangat tinggi," papar Tim Stratford, chairman of the American Chamber of Commerce di China.
Baca Juga: Analis: Jika perang dagang memburuk, yuan bisa menembus level 8 per dollar
Tidak diragukan lagi, konflik ini memang memberikan pukulan kepada China. Pertumbuhan ekonomi Negeri Panda itu melambat ke level terendah dalam tiga dekade terakhir. Pemerintah China tengah memutar otak untuk mengatasi utangnya yang membengkak dan risiko stabilitas finansial.
Kendati demikian, China masih memiliki ruang untuk melonggarkan kebijakan lebih jauh. Bank sentral China pada pekan lalu, sudah menggelontorkan reformasi utama yang didisain untuk menurunkan biaya pinjaman. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan untuk memperbolehkan provinsi-provinsi China menerbitkan lebih banyak obligasi untuk investasi infrastruktur.
Untuk saat ini, kedua belah pihak secara teknikal harus bertemu pada bulan depan untuk kembali membicarakan soal perdagangan. Dari perspektif China, kemajuan perundingan tergantung dari kalkulasi politik Trump menuju pemilu 2020.
Baca Juga: Terus melanjutkan rally, harga emas bertahan di rekor tertingginya selama enam tahun
Menurut Charles Liu, mantan negosiator ekonomi untuk delegasi China di PBB dan pendiri Hao Capital, Trump mungkin menyadari bahwa bahwa pukulannya terhadap China akan menjadi "bencana" bagi ekonomi AS dan perusahaan-perusahaan Amerika.
"Satu hal yang tampak jelas dan tidak berubah adalah Trump berada di bawah tekanan untuk mencapai kata sepakat --bukan China, tapi Trump. Posisi China akan seperti ini: Jika Anda mau berbicara, pintu selalu terbuka, namun aksi buli ini tidak akan membantu saat perundingan dilakukan," jelasnya.