kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45937,00   8,64   0.93%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menggantungkan penghidupan layak di luar negeri


Minggu, 21 Oktober 2018 / 18:42 WIB
Menggantungkan penghidupan layak di luar negeri
ILUSTRASI. Ilustrasi Tujuan Keuangan


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mencari peruntungan ke luar negeri sepertinya menjadi hal lazim dilakukan orang dari berbagai penjuru dunia guna mendapat penghidupan yang lebih baik. Beberapa orang pun berhasil keluar dari jerat masalah ekonomi saat meninggalkan negara asalnya.

Langkah itu pula yang diambil Sorcha Coyle saat perekonomian Irlandia tertatih-tatih dihantam krisis finansial global. Kondisi itu membuat banyak sejawatnya mengalami kesulitan, termasuk untuk membayar sewa rumah. Namun ia memilih pergi ke Timur Tengah sebagai jalan keluar.

Mencari tantangan baru merupakan alasan yang lumrah saat seseorang memilih bekerja di luar negeri. Namun di luar itu, Sorcha pun memiliki asa untuk lebih mudah memperoleh tujuan finansial yang lebih cepat dengan pergi dari Irlandia. 

"Kami tak bisa membayar sewa rumah yang makin tinggi sehingga banyak yang menderita secara mental dan fisik karena kesulitan uang," kata wanita berumur 32 tahun ini seperti dikutip BBC.

Ia membandingkan hidupnya dulu yang harus menyisihkan 50% dari pendapatan hanya untuk menyewa rumah. Artinya makin sedikit uang yang bisa dipakai untuk menabung.

Kini setelah ia tinggal di Dubai sejak 2011, Sorcha sudah bisa mengumpulkan tabungan lebih dari US$ 186.000 dan membeli dua buah properti. Termasuk rumah dengan empat kamar tidur di kampung halamannya. Bahkan ia kini juga punya uang untuk pelesiran secara rutin.

Menjadi ekspatriat sepertinya memang merupakan jalan keluar agar bisa kaya raya. Andrew Talbot, seorang perencana keuangan di Singapura bilang penghasilan selama satu tahun menjadi ekspatriat sama dengan tiga tahun bekerja di negara asal.

Hasil survey Expat Explorer oleh HSBC pun menunjukan angka yang menggiurkan. Rata-rata responden survey menjawab mereka mendapat ekstra gaji sebesa US$ 21.000 tiap tahun. Sebanyak 45% dari responden mengaku mendapat uang yang lebih banyak dibanding posisi pekerjaan yang sama di negara asalnya. Sementara 28% responden mendapat promosi saat datang ke negeri tujuan.

John Goddard, head of HSBC Expat menyebut keputusan bekerja di luar negeri berarti merubah jalan hidup seseorang. Dengan duit yang lebih banyak, para ekspatriat bisa mempersiapkan masa depan yang lebih baik.

"Lebih dari sepertiga responden menyebut kini mereka bisa menyiapkan uang untuk masa pensiun. Sementara sepertiganya lagi memilih untuk berinvestasi di properti," kata John.

Namun memang tak semua ekspatriat bisa menikmati hidup yang selalu menyenangkan. Yvonne McNulty, seorang pakar mobilitas global yang tinggal di Singapura bilang ekspatriat dengan bayaran tinggi cepat tersisih. Ia menyoroti hasil survey KPMG pada 2017 yang menemukan hanya 27% responden ekspatriat yang menikmati pekerjaannya.

Sebagian besar ekspatriat justru menghadapi persoalan yang tidak sepele. Terutama soal tekanan pekerjaan, hingga budaya dan kualitas sumber daya di negara tujuan.

Belum lagi kenyataan bahwa banyak negara yang menawarkan gaji tinggi adalah negara yang memiliki biaya hidup yang tinggi pula. Hong Kong misalnya yang merupakan negara dengan biaya hidup tertinggi di dunia bagi ekspatriat berdasar Mercer’s 2018 Cost of Living survey.

Kunci untuk menyiasatinya, menurut Andrew Talbot adalah dengan mengatur gaya hidup. Sebelum pergi ke luar negeri, para ekspatriat harus sudah memutuskan tujuan finansialnya. Dari situ, ia harus bisa menyesuaikan antara kesenangan dan upaya untuk mencapai tujuan tersebut.

Kedisiplinan juga menjadi hal yang dipegang Sorcha hingga bisa mengumpulkan pundi-pundi uang yang cukup. Kini setelah tujuh tahun tinggal di Dubai dan memperoleh status finansial yang mapan, ia pun sudah punya rencana untuk pulang kampung. "Saya tak ingin terus-terusan menjadi orang yang sama, yang hanya pulang ke rumah dua kali setahun," ujarnya.




TERBARU

[X]
×