Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Pejabat Federal Reserve dalam pertemuan terakhir mereka pada 6–7 Mei lalu mengakui bahwa mereka bisa menghadapi “pertukaran kebijakan yang sulit” dalam beberapa bulan ke depan, seiring risiko inflasi yang terus meningkat berbarengan dengan pengangguran yang naik.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh volatilitas pasar keuangan dan proyeksi The Fed yang menunjukkan peningkatan risiko resesi, demikian menurut risalah rapat yang dirilis Rabu (28/5) waktu setempat.
Baca Juga: Harga Emas Spot Stabil Rabu (28/5), Risalah The Fed Soroti Risiko Inflasi dan Resesi
Meskipun prospek ekonomi mungkin telah sedikit membaik setelah Presiden Donald Trump memutuskan untuk menunda penerapan tarif impor besar-besaran, termasuk bea 145% terhadap produk China yang sebelumnya telah mendorong imbal hasil obligasi naik, menekan harga saham, dan memicu kekhawatiran resesi.
Tetapi risalah tersebut tetap menunjukkan kekhawatiran mendalam para pembuat kebijakan dan staf The Fed terhadap dampak kebijakan pemerintah yang masih berubah-ubah.
Para pejabat The Fed mencatat bahwa gejolak pasar obligasi menjelang pertemuan perlu terus dipantau sebagai potensi risiko bagi stabilitas keuangan.
Mereka juga memperingatkan bahwa perubahan pada status dolar AS sebagai aset safe haven, serta kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS, “dapat memiliki implikasi jangka panjang terhadap perekonomian.”
Baca Juga: Indeks Wall Street Bergerak Datar Menjelang Pengumuman Risalah Pertemuan The Fed
The Fed kini dihadapkan pada potensi skenario stagflasi, inflasi dan pengangguran yang naik secara bersamaan yang akan memaksa mereka memilih antara menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi atau menurunkannya demi mendukung pertumbuhan dan lapangan kerja.
“Hampir semua peserta menyampaikan risiko bahwa inflasi bisa menjadi lebih persisten dari yang diperkirakan,” tulis risalah tersebut, seiring penyesuaian ekonomi terhadap tarif impor tinggi yang diusulkan pemerintahan Trump.
“Peserta mencatat bahwa Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) mungkin menghadapi pertukaran kebijakan yang sulit jika inflasi terus bertahan tinggi sementara prospek pertumbuhan dan ketenagakerjaan memburuk,” lanjutnya.
“Peserta sepakat bahwa ketidakpastian terhadap prospek ekonomi semakin meningkat, dan oleh karena itu pendekatan yang hati-hati diperlukan sampai dampak bersih dari berbagai perubahan kebijakan pemerintah menjadi lebih jelas.”
Baca Juga: Ekonom Citi Perkirakan The Fed Akan 4 Kali Pangkas Suku Bunga di 2025
Risiko dari Dua Arah
Dalam paparan The Fed, disebutkan bahwa tarif impor diperkirakan akan mendorong inflasi secara signifikan sepanjang tahun ini, sementara pasar tenaga kerja diprediksi akan “melemah secara substansial,” dengan tingkat pengangguran diperkirakan menembus batas estimasi lapangan kerja penuh dan bertahan di atasnya hingga dua tahun ke depan.
Tingkat pengangguran AS per April tercatat 4,2% dan The Fed memperkirakan 4,6% sebagai batas jangka panjang yang masih konsisten dengan target inflasi 2%.
Penundaan pemberlakuan tarif impor yang paling agresif terhadap China dan negara lain memang telah menurunkan proyeksi risiko resesi dari sebagian analis.
Namun, The Fed awal Mei lalu menilai risiko resesi saat itu “hampir sama besar” dengan skenario dasar mereka yaitu pertumbuhan melambat namun tetap berlanjut.
Secara teori, tarif tinggi tersebut hanya ditangguhkan hingga Juli sambil menunggu hasil negosiasi lebih lanjut, yang artinya ketidakpastian masih membayangi para pelaku pasar dan pembuat kebijakan The Fed.
Baca Juga: BI Perkirakan The Fed Pangkas Suku Bunga 2 Kali, pada September dan Desember 2025
Ketidakpastian tersebut juga menjadi kata kunci dalam pertemuan awal Mei, ketika The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%–4,5%.
Dalam konferensi pers setelahnya, Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan bank sentral akan “menunggu dan melihat” hingga arah kebijakan tarif menjadi lebih jelas — sikap yang terus disampaikan Powell dan pejabat The Fed dalam beberapa pekan terakhir.
The Fed dijadwalkan menggelar pertemuan berikutnya pada 17–18 Juni, di mana mereka akan merilis proyeksi terbaru mengenai inflasi, ketenagakerjaan, pertumbuhan ekonomi, dan arah kebijakan suku bunga untuk bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang.
Pada pertemuan Maret lalu, proyeksi median para pengambil kebijakan menunjukkan dua kali pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin masing-masing sebelum akhir 2025.