Sumber: ABC News | Editor: Ahmad Febrian
Mu Sochua, Vice President CNRP khawatir, pemerintah menggunakan Covid-19 untuk membungkam oposisi. "Covid-19 telah menjadi kemunduran besar bagi demokrasi di seluruh dunia. Setiap hari Anda mendengar tentang penentang pemerintah, bahkan hanya warga negara biasa yang mengungkapkan kecemasan mereka, tentang kesehatan mereka, tentang COVID-19. Lalu ditempatkan di balik jeruji besi,”terang Sochua.
Hugo Gabbero dari Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia, menegaskan, pemerintah tidak mentolerir perbedaan pendapat atau apapun yang dapat dianggap sebagai kritik. “Segala sesuatu yang masyarakat katakan atau posting online dipantau oleh pemerintah." Tegas Hubo.
ABC menghubungi juru bicara Pemerintah Kamboja untuk mengkonfirmasi isu tersebut. Juru bicara Ek Tha tidak secara langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan ABC. Ia mengirimkan sebuah opini yang diterbitkan pekan ini di Khmer Times, yang memuji upaya Perdana Menteri Hun Sen selama wabah corona. “Tanpa bimbingan dan instruksi PM, negara akan menderita dampak penyakit yang jauh lebih besar, dan lebih parah," tulis artikel itu.
Juru Bicara Kementerian Kehakiman Pemerintah Kamboja, Chin Malin mengatakan, pemerintah tidak membungkam kebebasan berbicara. “Pemerintah tidak pernah menekan kebebasan berbicara. Tetapi hanya menegakkan tindakan hukum terhadap berita palsu, pencemaran nama baik dan informasi yang mempengaruhi ketertiban umum, keselamatan dan keamanan dan hak-hak individu pribadi lainnya," katanya dalam sebuah pesan singkat.
Menurutnya, selama ini yang terjadi bukan kebebasan berbicara, tetapi kejahatan menurut hukum pidana Kamboja. Dan pemerintah memiliki dasar hukum yang cukup pada tindakan hukum ini. Akhir bulan lalu, polisi menangkap Ros Sokhet, wartawan surat kabar Khmer Nation. Penangkapan itu setelah sebuah postingan di media sosial mengkritik Perdana Menteri. Para pengamat khawatir insiden tersebut dan contoh-contoh terbaru lainnya di negara-negara Asia lain adalah tanda pergeseran yang lebih luas untuk menekan kebebasan berbicara.
Ada laporan di 12 negara, Indonesia disebut-sebut