kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Negara Asia dituding mengekang kebebasan berekspresi saat corona, Indonesia disebut


Sabtu, 18 Juli 2020 / 09:28 WIB
Negara Asia dituding mengekang kebebasan berekspresi saat corona, Indonesia disebut
ILUSTRASI. Para mahasiswa Yogyakarta saat duduk di pertigaan Kolombo untuk mengheningkan cipta atas matinya demokrasi


Sumber: ABC News | Editor: Ahmad Febrian

KONTAN.CO.ID - PHNOM PENH/JAKARTA. Sok Bolima tahu persis gerak-geriknya sedang diawasi pemerintah ketika sedang memprotes penangkapan suaminya di ibukota Kamboja, Phnom Penh. Tapi pengawasan itu tidak menghentikannya.

Dia tetap berdiri di luar kedutaan Australia dan gedung pengadilan setiap hari Jumat sejak penangkapan, Khim Pheana. Suaminya itu  ditahan setelah memposting informasi di Facebook tentang COVID-19.

Pemerintah menuduh Pheana menghasut dan bisa mendekam 15 tahun hingga 20 tahun penjara. "Orang-orang mengikuti saya. Saya diamati setiap jam dan setiap detik. Saya akan melawan sampai mati di depan pengadilan,” tegas Bolima, mengutip ABC, Jumat (17/7). 

Ia berharap ada pihak yang membantu.  "Semua harapan saya tertuju pada kedutaan. Saya tidak bisa menyisakan harapan untuk pengadilan," katanya saat ia bersiap  membawa protesnya ke Kedutaan Australia dan menyerahkan petisi.

Bolima biasanya bergabung dengan sekelompok kecil wanita, yang suaminya ju ditangkap dalam beberapa bulan terakhir. "Saya adalah satu dari 15 istri yang harus pergi untuk memprotes di depan pengadilan, untuk membuat mereka membatalkan tuntutan terhadap suami-suami  kami," katanya.

Ke-15 orang itu ditangkap dengan tudingan menghasut selama pandemi. Dan mereka berafiliasi dengan partai politik oposisi, Partai Penyelamatan Nasional Kamboja (CNRP),  yang telah dilarang. “Saya kehilangan segalanya: pekerjaan, suami di penjara dan properti. Saya harus berjuang sampai saya mati di depan pengadilan, sampai suami saya dibebaskan,” tegasnya.

Pekan lalu, lima wartawan  Australia yang bekerja untuk jaringan Al Jazeera diinterogasi  polisi Malasia. Mereka membuat sebuah film dokumenter yang membuat marah pihak berwenang.

Apa jawaban Pemerintah Kambojak atas tudingan tersebut?

Mu Sochua, Vice President CNRP khawatir, pemerintah menggunakan Covid-19 untuk membungkam oposisi. "Covid-19 telah menjadi kemunduran besar bagi demokrasi di seluruh dunia. Setiap hari Anda mendengar tentang penentang pemerintah, bahkan hanya warga negara biasa yang mengungkapkan kecemasan mereka,  tentang kesehatan mereka, tentang COVID-19. Lalu ditempatkan di balik jeruji besi,”terang Sochua.

Hugo Gabbero dari Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia, menegaskan, pemerintah tidak mentolerir perbedaan pendapat atau apapun yang dapat dianggap sebagai kritik. “Segala sesuatu yang masyarakat  katakan atau posting online dipantau oleh pemerintah." Tegas Hubo. 

ABC menghubungi juru bicara Pemerintah Kamboja untuk mengkonfirmasi isu tersebut.  Juru bicara Ek Tha tidak secara langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan ABC. Ia mengirimkan sebuah opini yang diterbitkan pekan  ini di Khmer Times, yang memuji upaya Perdana Menteri Hun Sen selama wabah corona. “Tanpa bimbingan dan instruksi PM, negara akan menderita dampak penyakit yang jauh lebih besar, dan lebih parah," tulis artikel itu.

 Juru Bicara Kementerian Kehakiman Pemerintah Kamboja, Chin Malin mengatakan, pemerintah tidak membungkam kebebasan berbicara. “Pemerintah tidak pernah menekan kebebasan berbicara. Tetapi hanya menegakkan tindakan hukum terhadap berita palsu, pencemaran nama baik dan informasi yang mempengaruhi ketertiban umum, keselamatan dan keamanan dan hak-hak individu pribadi lainnya," katanya dalam sebuah pesan singkat.

Menurutnya, selama ini yang terjadi bukan  kebebasan berbicara, tetapi kejahatan menurut hukum pidana Kamboja.  Dan pemerintah memiliki dasar hukum yang cukup pada tindakan hukum ini.  Akhir bulan lalu, polisi menangkap Ros Sokhet, wartawan  surat kabar Khmer Nation. Penangkapan itu  setelah sebuah postingan di media sosial  mengkritik  Perdana Menteri.  Para pengamat khawatir insiden tersebut dan contoh-contoh terbaru lainnya di negara-negara Asia lain adalah tanda pergeseran yang lebih luas untuk menekan kebebasan berbicara.

Ada laporan di 12 negara, Indonesia disebut-sebut

Awal bulan ini, Komisioner Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet menyalakan alarm tentang penindasan terhadap kebebasan berekspresi selama pandemi. Michelle mengatakan, sedikitnya 12 negara Asia melakukan penahanan terhadap warga yang menyampaikan ketidakpuasan terhadap pemerintah dengan tuduhan menyebarkan informasi palsu lewat pers dan media sosial. Ke-12 negara itu adalah Bangladesh, Kamboja, China, India, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Nepal, Filipina, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam.

Di Indonesia, Komisiener HAM PBB mengatakan, setidaknya ada 51 orang dilaporkan sedang dalam penyelidikan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Beberapa di antaranya diketahui telah menyebarkan fake news di saat Indonesia sedang memerangi virus corona.

Namun Kepolisian RI (Polri) mengatakan penangkapan tersebut sebagai upaya penegakan hukum bagi mereka yang memanfaatkan isu COVID-19. "Sudah 51 kasus dan 51 tersangka," kata Kapolri Jenderal Idham Azis dalam rapat dengan Komisi III DPR RI secara virtual yang disiarkan di Facebook DPR, akhir Maret lalu, mengutip ABC.

Dalam pernyataannya, Komisioner HAM PBB juga mencontohkan penangkapan tiga pria setelah mereka mengunggah sebuah pesan di sosial media. Unggahan tersebut menyebutkan kasus penularan virus corona di kawasan Jakarta Utara terjadi setelah pemerintah menyemprotkan cairan disinfektan.

Selain itu ada pula sejumlah laporan, polisi  memblokir sejumlah akun sosial media dan hal ini telah dibenarkan oleh Kapolri. ABC menyebut, di Indonesia, menyebarkan 'fake news' memang bisa diperkarakan ke jalur hukum karena menyebabkan kepanikan masyarakat. "Penyebaran isu-isu atau informasi yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan mengakibatkan kepanikan di masyarakat," ujar Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Listiyo Sigit P saat melakukan keterangan pers awal Maret lalu.

ABC menulis, tindakan mengatur fake news seperti ini malah membuat kekhawatiran Komisioner HAM PBB. Yang  menilai dijadikan kesempatan memberangus kebebasan berbicara, termasuk mengkritik kebijakan pemerintah dan kebebasan berekspresi.




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×