Sumber: Bloomberg, Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
SYDNEY. Indeks saham acuan di Asia, Australia dan Selandia Baru hari ini terlihat tidak bergairah. Sejak pembukaan pagi, satu per satu, saham-saham mulai berguguran. Adanya penurunan suku bunga China yang tidak sesuai prediksi dan laporan pertumbuhan ekonomi di Selandia Baru yang mengecewakan membuat kekhawatiran bahwa resesi global akan semakin menjadi-jadi.
Pada pukul 10.16 waktu Seoul, indeks Kospi menurun 2% menjadi 1.156,07. Sementara indeks acuan Australia S&P/ASX 200 turun 0,3%. Kondisi serupa juga dialami indeks NZX milik Selandia Baru yang merosot 0,5%.
Hang Seng juga dibuka melorot dengan penurunan 1,26% menjadi 14.437,90. Demikian pula halnya dengan Shanghai Composite Index yang anjlok 2,3%. Meski demikian, hari ini, MSCI Asia Pacific Index tak banyak mengalami perubahan dan bursa Jepang ditutup karena hari libur nasional.
Beberapa perusahaan yang mengalami penurunan tertinggi antara lain: Hynix Semiconductor Inc yang merupakan produsen memory chip kedua terbesar dunia terjun bebas 8,3% di Seoul. Penurunan tersebut diakibatkan setelah peringkat utang Hynix diturunkan. Sementara itu, Bendigo & Adelaide Bank Ltd juga merosot 7,3% setelah melakukan penerbitan saham baru untuk meningkatkan modal. Air New Zealand Ltd juga merosot 4,5% seiring dirilisnya laporan pemerintah bahwa perekonomian Selandia Baru akan mengalami kontraksi kuartalan untuk yang ketiga kalinya secara berturut-turut.
“Sangat sulit membuat pasar bergairah pada saat berita yang berkembang memberikan sentimen negatif. Berita mengenai perekonomian akan terus mengalami pelemahan,” jelas Philip Schwartz dari International Value Equities di New York.
Tambahan informasi saja, di China, suku bunga pinjaman dengan jangka waktu satu tahun dan deposito hanya akan mengalami penurunan sebesar 0,27%. Padahal, Citigroup Inc dan HSBC Holdings Plc memprediksi setidaknya akan ada penurunan sebesar 54 basis poin kemarin.
“Adanya pemangkasan suku bunga ini mengindikasikan aktivitas perekonomian di China lebih lambat dari yang diperkirakan. Pemerintah China memilih untuk menggunakan kebijakan moneter untuk meningkatkan permintaan karena kondisi perekonomian yang lemah ini lebih parah dari yang diharapkan,” jelas Roberto Lampl dari ING Investment Management.