Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - Dalam dunia para triliuner dan pemimpin perusahaan besar, keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi kerap dianggap ilusi. Banyak di antara mereka yang menilai, kesuksesan besar tak bisa dicapai dengan membatasi jam kerja atau memisahkan urusan kantor dan rumah.
Pendiri Amazon, Jeff Bezos, menjadi salah satu tokoh yang menolak istilah work-life balance.
Di ajang Italian Tech Week, Bezos mengatakan, “Saya tidak suka kata ‘balance’ karena seolah ada pertukaran antara kerja dan kehidupan. Saya lebih suka menyebutnya work-life harmony, karena jika bahagia di rumah, kita juga akan lebih baik di tempat kerja, dan sebaliknya.,” ucapnya seperti dilansir dari Forbes, Kamis (16/10/2025).
Pandangan serupa juga datang dari Satya Nadella, CEO Microsoft, yang percaya bahwa harmoni lebih penting daripada keseimbangan.
Baca Juga: Triliuner Termuda Lucy Guo Anggap Bekerja 12 Jam Sehari Termasuk Work-Life Balance
Sementara Anna Lundstrom, CEO Nespresso UK, menyebut konsep itu sebagai work-life fluidity, karena menurutnya pemimpin sulit benar-benar memisahkan keduanya.
Namun tidak semua pemimpin berpandangan serupa. Sebagian menilai kerja keras ekstrem justru menjadi kunci menuju puncak karier.
Andrew Feldman, CEO Cerebras, perusahaan chip AI senilai US$ 8,1 miliar menganggap ide mencapai kesuksesan besar dengan bekerja 38 jam per minggu sebagai hal yang mustahil.
“Membangun sesuatu yang luar biasa tidak bisa dilakukan sambil setengah-setengah. Itu butuh seluruh waktu dan tenaga,” ujarnya di podcast 20VC.
Pendiri Scale AI, Lucy Guo, juga hidup dengan ritme kerja intens. Mantan mahasiswa yang keluar kuliah ini memulai hari pukul 05.30 pagi dan menutupnya menjelang tengah malam.
Baca Juga: Gen Z Pengusaha Muda Nilai Work-Life Balance Sebagai Perangkap
Di usia 30 tahun, ia sudah menjadi miliarder berkat kepemilikan 5% saham di perusahaannya yang kini bernilai US$ 29 miliar.
“Saya mungkin tidak punya work-life balance, tapi saya mencintai pekerjaan saya. Kalau kamu merasa butuh keseimbangan, mungkin kamu tidak berada di pekerjaan yang tepat,” katanya.
Meski begitu, Guo tetap menyempatkan waktu satu atau dua jam untuk keluarga dan teman dekat.
Kondisi serupa juga dirasakan Eric Yuan, CEO Zoom. Setelah aplikasi video konferensinya menjadi bagian dari kehidupan jutaan pekerja, Yuan mengakui dirinya kesulitan menemukan waktu untuk hobi.
“Tidak ada cara untuk menyeimbangkan. Bagi saya, kerja adalah hidup, hidup adalah kerja,” ujarnya. Meski demikian, ia menegaskan, “Kalau harus memilih antara pekerjaan dan keluarga, keluarga tetap nomor satu.”
Baca Juga: Malaysia Rangking 2 Work-Life Balance Terbaik di Asia, Indonesia Posisi Berapa?
Di sisi lain, Reid Hoffman, pendiri LinkedIn, berpendapat bahwa siapa pun yang serius membangun perusahaan harus mengorbankan waktu santai.
“Kalau ada pendiri yang bilang punya hidup seimbang, berarti dia belum berkomitmen penuh untuk menang,” ujarnya dalam kelas How to Start a Startup di Stanford University.
Pandangan ekstrem tentang kerja keras bukan hanya monopoli Barat. Di China, budaya kerja 996 bekerja dari pukul 9 pagi hingga 9 malam, enam hari seminggu—dianggap sebagai lambang dedikasi.
Pendiri Alibaba, Jack Ma bahkan menyebut pola itu sebagai berkah besar. “Jika tidak bekerja keras saat muda, kapan lagi bisa melakukannya?” katanya.
Baca Juga: Kesadaran Work Life Balance Mendorong Permintaan Sandal
Bagi para pemimpin ini, sukses luar biasa menuntut pengorbanan luar biasa. Istilah work-life balance mungkin terdengar ideal, tapi bagi mereka yang hidup di puncak bisnis global, keseimbangan justru dianggap sebagai penghambat ambisi.