Sumber: The Guardian,Reuters | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - NEW DELHI. Seruan boikot terhadap barang-barang China semakin menguat di India, pasca bentrokan pasukan kedua negara di perbatasan Himalaya yang disengketakan, yang menewaskan 20 tentara negeri Sungai Gangga.
Kelompok-kelompok nasionalis garis keras yang terkait Partai Bharatiya Janata yang mendukung Perdana Menteri Narendra Modi telah meningkatkan seruan untuk memboikot barang-barang China dan pembatalan kontrak dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok.
"Dalam situasi saat ini, masalah China tidak boleh dianggap enteng. Dalam banyak kasus, mungkin ada uang China yang diinvestasikan, tapi saya pikir hal-hal biasa yang kita beli dari pasar, kita harus memastikan untuk menghindari produk-produk China," kata Menteri Urusan Makanan dan Konsumen India Ram Vilas Paswan kepada Economic Times seperti dilansir Reuters.
Baca Juga: India nyalakan sinyal perang dagang, akan naikkan tarif impor 300 produk dari China
Pertempuran Senin (15/6) malam di tebing curam di sepanjang perbatasan yang kedua negara sengketakan di wilayah Pegunungan Ladakh adalah kekerasan terburuk antara pasukan India dan China dalam 45 tahun terakhir.
Melansir The Guardian, pejabat Pemerintah India mengatakan, New Delhi berencana memberlakukan hambatan perdagangan yang lebih tinggi dan menaikkan bea impor pada sekitar 300 produk dari China.
India saat ini mencatat defisit perdagangan mencapai US$ 59,3 miliar dengan China. Sebanyak 11% impor India berasal dari China.
Baca Juga: China bebaskan 10 tentara India usai bentrok mematikan di perbatasan
Melarang China ikut tender
Kementerian Telekomunikasi India memerintahkan perusahaan telekomunikasi pelat merah dan swasta untuk menolak semua penawaran dan peningkatan peralatan dari China di masa depan.
India juga akan melarang perusahaan-perusahaan China berpartisipasi dalam tender untuk proyek-proyek masa depan, yang kemungkinan akan mencakup rencana untuk meningkatkan layanan 4G di negeri Sungai Gangga.
Seruan untuk memboikot barang, teknologi, dan investasi China telah meningkat di India sejak awal Mei, ketika pasukan Tiongkok mulai melakukan pembangunan di wilayah yang disengketakan di Ladakh.
Baca Juga: Mengapa pertempuran China-India menggunakan pentungan paku dan batu, bukan senjata?
Program buatan India yang membantu pengguna mengidentifikasi dan menghapus aplikasi China di ponsel mereka sudah diunduh lebih dari lima juta kali selama Mei sebelum Google memblokirnya.
Kampanye boikot dengan cepat mengumpulkan momentum, baik di tingkat lokal maupun pemerintah, di seluruh India, setelah bentrokan berdarah di Lembah Galwan.
Sejak Senin (15/6), protes anti-China pecah di seluruh India, dengan patung Presiden China Xi Jinping dibakar. Di Gujarat, rekaman video memperlihatkan orang-orang melemparkan televisi buatan China dari atas balkon mereka.
Baca Juga: Foto satelit: Ada aktivitas besar di sisi China sebelum bentrok dengan India
Boikot tidak masuk akal
The Guardian melaporkan, Asosiasi Kesejahteraan Penduduk (RWA) dari Koloni Pertahanan, sebuah lingkungan yang makmur di New Delhi Selatan, menyatakan "perang" terhadap China melalui boikot barang.
“Saya menyatakan, Koloni Pertahanan sedang berperang. Sayangnya, kita tidak bisa mengangkat senjata tetapi pasti ada cara lain. Kita bisa mematahkan tulang punggung China secara ekonomi," kata Ranjit Singh, Presiden RWA dari Koloni Pertahanan, yang juga purnawirawan berpangkat mayor.
Konfederasi Pedagang India (CAIT), yang mewakili lebih dari 60 juta pedagang, menyatakan, akan meningkatkan boikot dengan memasukkan 450 kategori komoditas yang mencakup lebih dari 3.000 produk China, mulai kosmetik hingga tas dan furnitur.
Baca Juga: Sedang siaga tempur, militer India atau China yang paling kuat
Hanya, Global Times, surat kabar yang merupakan corong Partai Komunis China, menyerukan India untuk meredam "boikot yang tidak masuk akal atas produk China".
"Ini tidak realistis dan merusak diri sendiri untuk negara ekonomi terbesar ketiga di Asia itu meluncurkan gesekan dengan negara ekonomi terbesar (China) di kawasan (Asia) ini," tulis Global Times.