Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - JENEWA. Tim penyelidik PBB dalam laporannya hari Selasa (8/8) mengatakan bahwa kejahatan perang yang dilakukan militer Myanmar menjadi semakin intens dan kurang ajar. Beberapa aksi yang dilakukan termasuk pengeboman di kawasan sipil.
Laporan yang dirilis oleh Mekanisme Investigasi Independen untuk Myanmar (IIMM) ini mencatat kejadian pada periode antara Juli 2022 hingga Juni 2023. IIMM mengatakan ada bukti kuat bahwa militer Myanmar dan afiliasinya telah melakukan tiga jenis kejahatan perang.
Baca Juga: Impor Senjata Myanmar Meningkat Sejak Militer Berkuasa, Nyaris US$ 1 Miliar
Pembunuhan Warga Sipil dan Pemusnahan Desa
Mengutip Reuters, kejahatan tersebut mencakup penargetan warga sipil secara sembarangan atau tidak proporsional dengan menggunakan bom, serta pembakaran rumah dan bangunan sipil.
Sejumlah aksi militer Myanmar tersebut bahkan mengakibatkan kehancuran secara total di sebuah desa. Pembunuhan warga sipil dan tahanan politik juga kerap terjadi.
"Temuan bukti kami menunjukkan adanya peningkatan yang dramatis pada kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di negara ini (Myanmar), dengan serangan yang meluas dan sistematis terhadap warga sipil," kata Nicholas Koumjian, ketua IIMM.
Baca Juga: Ingkar Janji, Junta Myanmar Resmi Tunda Pelaksanaan Pemilu
Koumjian memastikan bahwa saat ini pihaknya sedang menyusun laporan kasus yang dapat digunakan oleh pengadilan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku individu.
Penyelidik PBB mengakui bahwa serangan militer Myanmar memang menargetkan sasaran militer. Di sisi lain, PBB merasa militer Myanmar seharusnya mengetahui bahwa sejumlah besar warga sipil berada di sekitar sasaran.
Baca Juga: Myanmar Mendorong Warganya Bekerja di Luar Negeri untuk Mengatasi Kekurangan Valas
Kekacauan Pasca Kudeta
Sejak militer merebut kekuasaan dua tahun lalu, Myanmar praktis masuk ke situasi yang sangat kacau. Gerakan perlawanan terhadap militer muncul di seluruh penjuru negeri.
Sayangnya, aksi protes tersebut ditanggapi dengan keras oleh militer, mengakibatkan ribuan warga sipil tewas sejak saat itu.
Junta yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing berulang kali membantah telah melakukan kekejaman, mereka berdalih hanya menjalankan misi kontra-terorisme.