Sumber: Finbold News | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Departemen Keuangan AS merilis data terbaru yang menunjukkan bahwa pemerintah Amerika Serikat mengumpulkan pendapatan tarif sebesar US$ 29,6 miliar (sekitar Rp 484 triliun) pada Juli 2025.
Angka ini menjadi tertinggi sepanjang tahun dan membawa total penerimaan tarif sejak awal tahun fiskal mencapai lebih dari USD 152 miliar.
Jika tren ini berlanjut, penerimaan tarif tahunan diperkirakan bisa mencapai US$ 308 miliar pada akhir tahun fiskal 2025, menurut laporan The Kobeissi Letter.
Perubahan Tarif Global Mulai 7 Agustus
Rekor ini dicapai hanya beberapa hari sebelum gelombang baru perubahan tarif global yang dijadwalkan berlaku mulai 7 Agustus 2025.
Awalnya, perubahan tarif ini direncanakan berlaku pada 1 Agustus, namun ditunda oleh Gedung Putih untuk memberi waktu tambahan bagi U.S. Customs and Border Protection mempersiapkan sistem dan mekanisme pelaksanaannya.
Baca Juga: Trump Tuduh JPMorgan dan Bank of America Diskriminasi, Siapkan Perintah Eksekutif Ini
Presiden Donald Trump juga mengumumkan serangkaian perjanjian dagang baru dengan Jepang, Uni Eropa (UE), dan Korea Selatan. Namun, India terkena pukulan berat karena kini menghadapi tarif flat 25% untuk seluruh barang yang diekspor ke Amerika Serikat.
Potensi “Dividen Tarif” untuk Warga AS
Trump mengisyaratkan bahwa sebagian penerimaan tarif yang besar ini bisa dibagikan langsung kepada masyarakat.
“Bisa saja ada distribusi atau dividen untuk rakyat negara kita, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah,” kata Trump seperti dikutip Reuters saat meninggalkan lapangan golf.
Dampak Fiskal: Kurangi Utang AS
Menurut perkiraan Congressional Budget Office (CBO), kebijakan tarif saat ini dapat mengurangi kebutuhan pemerintah untuk meminjam dana hingga USD 2,5 triliun selama satu dekade ke depan.
Baca Juga: AS Wajibkan Warga Zambia dan Malawi Bayar Jaminan Visa hingga Rp 245 Juta
Hal ini memperlihatkan bahwa kebijakan tarif menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi kas negara, meski disertai risiko seperti kenaikan harga barang konsumsi di dalam negeri.
Sebelumnya, Trump pernah mewacanakan untuk mengganti sebagian pajak dengan tarif impor. Gagasan ini menuai kritik luas karena tarif yang dibutuhkan harus sangat tinggi untuk menutupi pendapatan pajak yang hilang.
Selain itu, jika penerimaan dari tarif tak mencukupi, pemerintah kemungkinan tetap harus memberlakukan pajak baru, sehingga kembali ke titik awal.