Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Situs The Market memuat wawancara soal perekonomian China dengan Michael Pettis, seorang profesor keuangan di Universitas Peking. Dia memperingatkan akan adanya utang besar yang membebani perekonomian Tiongkok. Menurutnya, stagnasi panjang pada perekonomian China tidak akan terhindarkan.
Hanya sedikit pengamat western yang mengetahui China sebaik Michael Pettis. Dia telah tinggal di Beijing selama 17 tahun, untuk mengajar keuangan di Guanghua School of Management di Universitas Peking. Di sini, spesialisasinya adalah pasar finansial China.
Baca Juga: Wow, Juli 2019 Impor Batubara China Naik Hampir 20%
Dalam wawancara mendalam dengan The Market, dia berbicara soal perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS), sekaligus semakin sulitnya mencapai kesepakatan setelah mengalami beberapa kali pertemuan. "Xi Jinping menganggap enteng Trump. Dia salah membaca Trump," kata Pettis.
Menurutnya, konflik perdagangan memukul China pada saat yang buruk. "Perekonomian China saat ini benar-benar rentan. Xi harus cepat melakukan reformasi ekonomi domestik. Semua orang di sini tahu ada masalah utang yang sangat serius di China, berdetik layaknya bom waktu," katanya.
Baca Juga: Demi jegal Trump agar tak terpilih lagi, China rela perekonomiannya merosot
Meskipun Pettis meyakini China mampu menghindari terjadinya krisis finansial, namun, tetap saja stagnasi panjang pada perekonomian China tidak akan terhindarkan.
Lantas, apa yang menyebabkan semakin memanasnya konflik perdagangan antara AS dan China? Menurut Pettis, untuk memahami masalah ini, kita harus mendengarkan jawaban dari kedua belah pihak. "Masyarakat China bilang, AS membuli mereka. Di Washington, ada keyakinan bahwa sudah ada beberapa hal yang disepakati, dan Beijing mengingkari hal ini. Masalahnya adalah ini merupakan negosiasi antara Donald Trump dan Xi Jinping, kecuali mereka tidak melakukan negosiasi orang ke orang. Yang artinya, siapapun orang yang melakukan negosiasi tidak bisa berkomitmen terhadap apapun sampai hal itu disetujui," paparnya.
Di sisi lain, Pettis juga meragukan data pertumbuhan ekonomi resmi yang dirilis China. Menurutnya, di China, pertumbuhan PDB tidak menunjukkan hal apapun tentang perekonomian. "Jika Beijing ingin pertumbuhan 7%, maka mereka dapat 7%. Jika mereka ingin 5%, mereka dapat 5%. Itu bukan pertumbuhan yang sebenarnya di China. Jika Anda menuliskan semua investasi yang non produktif, angkanya bisa lebih rendah," jawabnya.
Baca Juga: Di tengah tekanan perang dagang, ekspor China mampu tumbuh 3,3% pada Juli
Bahkan dia memprediksi, pertumbuhan ekonomi China yang sebenarnya sudah berada di bawah 3%, bukan 6,4% seperti yang dilaporkan pada kuartal I 2019. Dia bilang, perekonomian China tidak berlangsung baik dan perang dagang membuatnya semakin buruk. Tapi sekali lagi, hal ini tidak berdampak pada angka PDB yang dipublikasikan, karena itu adalah angka politis.
Ironinya, lanjut Pettis, semakin buruk perang dagang yang terjadi, kemungkinan semakin tinggi angka PDB resmi China. Dalam rangka menunjukkan bahwa China tidak terkena dampak perang dagang, mereka akan menunjukkan tingkat pertumbuhan PDB yang tinggi. "Namun Anda harus memahami bahwa pertumbuhan PDB yang dipublikasikan bukan performa yang sesungguhnya," imbuhnya.
Baca Juga: Di luar Ekspektasi, Ekspor China Naik 3,3% dan Impor Turun 5,6%
Tak heran, jika dia menilai perekonomian China sangat rentan. Apalagi, saat ini, ada utang yang sangat besar yang dimiliki China yang digunakan untuk mendapat dukungan politis pertumbuhan PDB. Pemerintah pusat sudah mencoba bertahun-tahun untuk menurunkan utang, tapi belum berhasil. Politik di China sangat penting, karena pada akhir Kongres Partai ke 19 Oktober 2017, sepertinya Presiden Xi secara substansial melakukan konsolidasi kekuasaan.
"Hal ini yang mendorong dia harus segera mengimplementasikan reformasi ekonomi. Sepertinya dia sudah mulai melakukan hal itu: Anda bisa lihat pertumbuhan utang mulai melambat secara dramatis. Dan kemudian terjadi sesuatu sekitar bulan April 2018, Anda mulai mendengar desas-desus, dan pada Agustus menjadi jelas bahwa ada tantangan yang signifikan bagi Presiden. Rumornya adalah dia ditantang atas dasar kesalahannya dalam penanganan hubungan AS-China," ungkapnya.
bersambung...