Sumber: Express.co.uk | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - Kehadiran militer Amerika Serikat (AS) di Laut China Selatan bukan gertak sambal. Pasalnya, militer AS telah meningkatkan secara tajam misi pesawat mata-mata mereka di atas Laut China Selatan dalam beberapa bulan terakhir yang menargetkan militer China, kata para analis.
Seperti dilansir Express.co.uk, Minggu (25/10), pada bulan ini, sebuah lembaga berbasis di China, yakni South China Sea Strategic Situation Probing Initiative (SCSPI) mengklaim militer AS telah menerbangkan setidaknya 60 misi untuk memata-matai China pada bulan September 2020 saja.
Sementara pada Agustus, SCSPI mengatakan AS telah menggandakan penerbangan pengintaian seperti itu selama beberapa bulan sebelumnya.
Baca Juga: Jepang pertimbangkan anggaran tambahan US$ 95,5 miliar untuk atasi virus corona
Bahkan SCSPI mengatakan, 60 misi penerbangan pesawat mata-mata AS pada September itu kemungkinan merupakan perkiraan rendah. Pasalnya, banyak pesawat mata-mata AS yang diamati menyamar atau bersembunyi dari radar pelacak.
Profesor studi strategis di Tamkang University di Taiwan, Alexander Huang, mengatakan, misi tersebut akan memungkinkan AS mengamati aktivitas kapal selam China dan juga membiasakan diri dengan laut, seperti dilaporkan Voice of Amerika.
Huang menambahkan bahwa AS kemungkinan besar akan tertarik dengan wilayah Selat Luzon. Pesawat AS yang terlibat dalam kegiatan mata-mata termasuk model RC-135 dan E-8C Angkatan Udara AS.
SCSPI mengatakan penyebaran E-8C secara khusus "menarik perhatian".
Pesawat tersebut mampu memata-matai negara lain dari jarak sejauh 155 mil. Sejauh ini, kegiatan itu memungkinkan militer AS untuk menentukan target berbasis darat dan sistem pemantauan radar.
Pada bulan September, organisasi penelitian tersebut mengklaim AS telah menyembunyikan misi mata-matanya dengan menyamarkan pesawat militernya sebagai pesawat sipil.
Baca Juga: Lagi, AS tuding China coba mencuri penelitian vaksin virus corona dari negara Barat
Pesawat AS telah mengubah kode identifikasi elektronik mereka - yang dikenal sebagai kode hex - untuk membuatnya tampak seolah-olah itu adalah pesawat Malaysia selama tiga hari berturut-turut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan menyamarkan pesawat sedemikian rupa adalah "tipuan lama militer AS". Dia menambahkan langkah itu "sangat melanggar aturan penerbangan internasional" dalam konferensi pers di bulan yang sama.
Baru-baru ini, AS juga menyelesaikan kesepakatan senjata dengan Taiwan - negara kepulauan di kawasan Laut China Selatan yang memiliki hubungan tegang dengan China akibat perselisihan kedaulatan.
Baca Juga: Investor asal Rusia akan menjadi mitra Premier Oil untuk menggarap Lapangan Tuna
Paket senjata, yang dikatakan bernilai US$ 1,8 miliar, termasuk rudal dan peluncur roket.
Menteri Pertahanan Taiwan Yen De-fa menyambut baik langkah tersebut, menambahkan Taiwan akan terus "mengkonsolidasikan kemitraan keamanan kami" dengan AS.
Menteri itu menyangkal Taiwan akan terlibat dalam "perlombaan senjata dengan Komunis China".
Sebaliknya, dia mengklaim bangsa akan "mengedepankan persyaratan dan membangun sepenuhnya sesuai dengan konsep strategis pencegahan berat, mempertahankan posisi dan kebutuhan pertahanan kita."
China, sementara itu, mengecam langkah tersebut. Juru bicara kementerian luar negeri negara itu Zhao Lijian mengatakan penjualan senjata semacam itu "sangat mengganggu urusan dalam negeri China".
Dia menambahkan: "China akan membuat tanggapan yang sah dan perlu sesuai dengan bagaimana situasi berkembang".
Penasihat keamanan nasional AS Robert O'Brien bulan ini menyarankan Taiwan untuk "membentengi dirinya sendiri" melawan China.