Sumber: South China Morning Post | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Menjelang peringatan 88 tahun tragedi Pembantaian Nanking, media resmi militer Tiongkok, PLA Daily, pada Jumat melontarkan peringatan keras bahwa tindakan provokatif para politisi garis keras Jepang bisa menyeret Asia ke situasi berbahaya.
Melansir South China Morning Post, komentar itu terbit sehari sebelum sirene peringatan dibunyikan di Nanjing pada pukul 10.01 pagi, dalam upacara nasional yang dipimpin Komite Sentral Partai Komunis dan Dewan Negara. Menurut catatan resmi Tiongkok, lebih dari 300.000 warga sipil dan tentara tewas dalam enam minggu setelah pasukan Jepang menduduki Nanking pada 13 Desember 1937, angka yang masih diperdebatkan Jepang.
Dalam artikel berjudul “Jangan Biarkan Tragedi Sejarah Terulang Kembali”, penulis Xu Yizhen menyoroti pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi pada November lalu yang menyebut bahwa krisis Taiwan bisa menjadi “situasi yang mengancam kelangsungan hidup Jepang”. PLA Daily menyebut komentar itu sebagai pembalikan sejarah dan sinyal kembalinya sentimen militerisme Jepang.
Menurut Xu, Takaichi “memutar balik sejarah” dengan menyebut isu Taiwan sebagai ancaman eksistensial, sekaligus mempromosikan gagasan bahwa status akhir Taiwan belum ditentukan—sebuah ide yang ditolak keras oleh Beijing.
Bagi Tiongkok, Taiwan adalah bagian dari negaranya dan bisa “dipersatukan kembali dengan kekuatan bila perlu”. Amerika Serikat dan Jepang tidak mengakui Taiwan sebagai negara merdeka, tetapi Washington menolak penggunaan kekuatan untuk menguasai pulau itu dan terus memasok persenjataan.
Baca Juga: Pendapatan Minyak dan Gas Rusia Diprediksi Anjlok ke Level Terendah Sejak 2020
Xu menegaskan bahwa membiarkan provokasi politisi kanan Jepang hanya akan “menghidupkan kembali hantu militerisme” dan mengancam stabilitas seluruh kawasan. Ia menyerukan negara-negara lain untuk bersama-sama mencegah bangkitnya kembali paham militeristik dan mempertahankan hasil kemenangan Perang Dunia II.
Ketegangan meningkat setelah komentar Takaichi memicu krisis diplomatik, membuat hubungan Tiongkok–Jepang anjlok dan memicu langkah balasan dari Beijing. Situasi semakin panas pada akhir pekan lalu ketika pesawat tempur kedua negara terlibat ketegangan di udara.
Jepang menuduh jet tempur J-15 Tiongkok mengarahkan radar pengendali tembakan ke arah F-15 Jepang saat kapal induk Liaoning berlatih di wilayah udara internasional dekat Okinawa. Beijing membalas dengan menuding Jepang sengaja mengganggu latihan militer sah Tiongkok.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Guo Jiakun menyebut pembantaian Nanking sebagai “salah satu halaman tergelap sejarah manusia” dan menegaskan bahwa Tiongkok tak akan membiarkan kebangkitan militerisme Jepang ataupun campur tangan asing dalam urusan Taiwan.
Akhir pekan ini, berbagai acara peringatan akan berlangsung di Jiangsu, mulai dari kunjungan ke korban selamat, pameran dokumenter, hingga penampilan artefak sejarah baru.
Tonton: AS Kirim B-52 Bawa Nuklir ke Laut Jepang Usai Manuver China–Rusia
Di Hong Kong, Chief Executive John Lee dijadwalkan turut meletakkan karangan bunga. Serangkaian kegiatan serupa juga akan digelar di berbagai basis pendidikan patriotik di seluruh Tiongkok. Sebanyak 100 sekolah dasar akan mengikuti kelas daring bertema “Pelajari Sejarah, Bacakan Perdamaian” untuk mengenang tragedi tersebut.
Kesimpulan
Komentar keras PLA Daily mencerminkan ketegangan yang makin meningkat antara Tiongkok dan Jepang, terutama setelah pernyataan PM Sanae Takaichi mengenai Taiwan dianggap Beijing sebagai bentuk provokasi dan upaya menghidupkan kembali retorika militeristik. Dengan suasana peringatan Pembantaian Nanking sebagai latar, Beijing memanfaatkan momentum historis untuk memperkuat pesan politik bahwa tindakan Jepang dapat mengancam stabilitas regional, terlebih ketika insiden udara antar jet tempur kembali memperburuk hubungan bilateral. Artikel ini menegaskan bahwa isu Taiwan kini menjadi titik gesekan paling sensitif antara kedua negara, dan jika tidak dikelola, Asia berpotensi menghadapi spiral eskalasi baru.













