Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - BANGKOK . Polisi Thailand mengatakan pada Senin bahwa mereka telah memerintahkan penyelidikan terhadap empat kantor berita di bawah kebijakan darurat yang diberlakukan pekan lalu untuk mencoba menghentikan tiga bulan protes terhadap pemerintah dan monarki.
Pengumuman tersebut memicu kemarahan kelompok media dan tuduhan serangan terhadap kebebasan pers oleh pemerintah Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, mantan pemimpin junta yang ingin disingkirkan para pengunjuk rasa dari kantornya.
Menurut dokumen polisi tertanggal 16 Oktober, investigasi telah diperintahkan terhadap konten dari empat media serta halaman Facebook dari sebuah kelompok protes.
"Kami menerima informasi dari unit intelijen yang prihatin bahwa bagian dari konten dan informasi yang menyimpang telah digunakan dan disebarluaskan sehingga menimbulkan kebingungan dan memicu keresahan masyarakat," kata juru bicara polisi Kissana Phathanacharoen dalam konferensi pers seperti dilansir Reuters, Senin (19/10).
Baca Juga: Pendemo terus gelar aksi, PM Thailand gelar pertemuan luar biasa dengan parlemen
Dia mengatakan bahwa regulator penyiaran dan kementerian digital Thailand akan menyelidiki dan mengambil tindakan yang sesuai. Pemerintah Thailand membantah bahwa tidak ada rencana untuk mengekang kebebasan pers.
Putchapong Nodthaisong, juru bicara kementerian digital, mengatakan telah meminta perintah pengadilan untuk menghapus konten terhadpa empat media dan halaman protes, di antara lebih dari 300.000 konten yang dikatakan melanggar hukum Thailand.
Prachatai, kantor berita independen di antara mereka yang sedang diselidiki, menggambarkannya sebagai perintah sensor.
"Kehormatan untuk melaporkan info akurat tentang hak asasi manusia dan perkembangan politik di Thailand, kami akan berusaha sebaik mungkin untuk terus melakukannya," kata Prachathai English di Twitter.
Baca Juga: Setahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, APSyFI: Perlu tegaskan pengetatan impor
The Manushya Foundation, sebuah kelompok independen yang mengkampanyekan kebebasan online, menyebut tindakan tersebut sebagai upaya untuk membungkam media yang bebas.
“Karena pelarangan protes tidak berhasil, pemerintah yang didukung militer berharap menciptakan ketakutan untuk mengatakan yang sebenarnya,” kata direkturnya Emilie Palamy Pradichit.