Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Perang di sektor teknologi antara China dan Amerika Serikat (AS) semakin memanas beberapa waktu terakhir.
Melansir The Telegraph, ketika para pejabat China memohon kepada Menteri Perdagangan AS Gina Raimondo agar sanksi teknologi dilonggarkan, dia bersikap tegas.
“Tentu saja, saya menjawab tidak,” kata Raimondo kepada wartawan saat kunjungannya ke China baru-baru ini.
Raimondo menegaskan, “Kami tidak bernegosiasi mengenai masalah keamanan nasional.”
Namun terjadi dinamika kekuasaan selang 48 jam setelah kunjungannya. China mengirimkan pesan yang dirancang untuk menunjukkan kepada para pejabat AS bahwa mereka tidak memegang kartu sebanyak yang mereka kira.
Pada tanggal 29 Agustus 2023, ketika Raimondo berjabat tangan dengan Perdana Menteri China Li Qiang, raksasa telekomunikasi Huawei mengumumkan peluncuran ponsel pintar baru, sebuah ponsel yang dinilai mengejek sanksi yang dijatuhkan AS.
Pasalnya, ponsel terbaru Huawei menanamkan chip berteknologi tinggi yang sebelumnya dianggap berada di luar kemampuan China. Mate 60 Pro mewakili lompatan menakjubkan yang telah bertahun-tahun dicegah oleh pemerintahan Donald Trump dan Joe Biden.
Baca Juga: Aksi Balasan Terbaru, China Larang Pejabat Pemerintah Pakai iPhone untuk Bekerja
Ponsel baru Huawei dan chip utamanya telah mendorong media pemerintah China untuk menyombongkan diri bahwa kebijakan “penindasan ekstrem” Amerika telah gagal.
Para ahli di Washington kini khawatir bahwa upaya Beijing untuk mengembangkan teknologi canggihnya akan memungkinkan China membuat lompatan yang signifikan dalam hal persenjataan canggih dan kecerdasan buatan, sebuah bidang yang dipandang sebagai medan pertempuran utama bagi keamanan siber dan perang informasi.
Microchip, terbuat dari bahan yang dikenal sebagai semikonduktor, digunakan dalam segala hal mulai dari ponsel pintar hingga mesin cuci dan bahkan rudal jelajah. Mereka juga akan menjadi kunci utama teknologi masa depan, termasuk kecerdasan buatan.
Chip pada Mate 60 Pro diperkirakan dibuat oleh Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC) yang berbasis di Shanghai, sebuah perusahaan yang diberi sanksi oleh AS pada tahun 2020 karena dugaan kaitannya dengan “kompleks industri militer Tiongkok”. SMIC membantah pihaknya bekerja sama dengan militer.
Baca Juga: China-AS Perang Chip, Beijing Siap Kucurkan Dana US$ 40 M ke Industri Semikonduktor
Negara-negara Barat masih memiliki keunggulan dalam merancang chip mutakhir, dengan sekutunya Taiwan dipandang sebagai pemimpin global di bidang manufaktur. Namun ada kekhawatiran bahwa China akan mengejar ketertinggalannya, karena Beijing memandang chip sebagai hal yang penting dalam rencananya untuk mendominasi sejumlah teknologi secara global.
Yang Wang, analis senior di Counterpoint Research, mengatakan: “Jika Huawei benar-benar mampu mengembangkan ponsel pintar berkemampuan 5G, hal ini akan berdampak luas bagi industri. Ini akan menandakan keberhasilan awal Tiongkok dalam melakukan pribumi pada bagian-bagian penting rantai nilai semikonduktor, meskipun ada sanksi dari AS.”
China melawan
China dilaporkan tengah bersiap untuk meluncurkan dana investasi baru senilai US$ 40 miliar yang didukung oleh pemerintah untuk memberikan subsidi industri semikonduktornya.
Saat ini, China mencoba mengejar AS dan negara pesaing lainnya dalam perlombaan untuk mendominasi produksi chip kelas atas.
Melansir laporan Reuters yang mengutip orang-orang yang mengetahui masalah tersebut, investasi senilai sekitar US$ 40 miliar ini kemungkinan merupakan yang terbesar dari tiga investasi yang diluncurkan oleh Dana Investasi Industri Sirkuit Terpadu China, yang juga dikenal sebagai Big Fund.
Mengutip Fox News, Target dana tersebut lebih besar dibandingkan dana serupa yang diluncurkan pada tahun 2014 dan 2019 dan dilaporkan akan memfokuskan investasi pada peralatan yang digunakan dalam pembuatan chip canggih.
Presiden China Xi Jinping telah mendorong negaranya untuk mencapai swasembada semikonduktor ketika AS dan sekutu-sekutunya berusaha membatasi akses negara tersebut terhadap chip-chip canggih.
AS dan sekutunya khawatir, pemerintah China dapat menggunakannya untuk mempercepat modernisasi militer dan penindasan internal lebih lanjut.
Peluncuran yang dilaporkan ini juga merupakan perlawanan terhadap Undang-Undang CHIPS bipartisan pemerintah AS, yang memberikan subsidi manufaktur senilai US$ 39 miliar yang bertujuan untuk meningkatkan produksi chip kelas atas dalam negeri.
Baca Juga: Perang Chip Memanas, Ini Strategi Terbaru China untuk Melawan AS
Amerika Serikat, Jepang, dan Belanda telah menerapkan serangkaian kontrol ekspor dalam beberapa tahun terakhir yang bertujuan untuk mencegah perusahaan-perusahaan China untuk memperoleh peralatan yang diperlukan untuk memproduksi jenis semikonduktor paling canggih, seperti yang digunakan untuk menggerakkan model kecerdasan buatan atau memandu sistem senjata presisi.
Pembatasan perdagangan tersebut dilaporkan mendorong perusahaan raksasa telekomunikasi China Huawei untuk memperoleh dana pemerintah sebesar US$ 30 miliar.
Dana ini ditujukan untuk membangun jaringan bisnis manufaktur semikonduktor, yang beroperasi dengan nama berbeda, yang berpotensi berfungsi sebagai solusi untuk pengendalian ekspor.