Sumber: LA Times | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Aset yang secara konservatif bernilai US$ 70 miliar tersebut, sekarang menjadi fokus gerakan pro-demokrasi yang menuntut transparansi yang lebih besar ke dalam keuangan monarki dan batasan pada kekuatannya yang luas.
Pada bulan Agustus, mahasiswa di Universitas Thammasat menuntut raja mengembalikan aset ke kendali Biro Properti Mahkota dan menempatkannya di bawah pengawasan pemerintah. Aksi tersebut sangat mengejutkan karena undang-undang penghinaan kerajaan yang ketat di Thailand secara tradisional membungkam kritik terhadap monarki.
Baca Juga: Tagar Republik Thailand jadi trending topic di Twitter
LA Times memberitakan, beberapa pengunjuk rasa juga menyerukan boikot terhadap Siam Commercial Bank, di mana raja memegang hampir 24% saham. Kekhawatiran pelarian dana deposito mendorong direktur bank sentral Thailand untuk meyakinkan investor bahwa terdapat cukup likuiditas di lembaga keuangan negara.
“Ketika para pengunjuk rasa berbicara tentang monarki sebagai sebuah institusi, CPB adalah intinya,” kata Pongkwan Sawasdipakdi, dosen di Thammasat dan kandidat doktor dalam hubungan internasional di USC. "Salah satu hal utama yang dipikirkan warga Thailand adalah bagaimana monarki dapat mengumpulkan kekayaan yang sangat tinggi dan kita tidak benar-benar tahu apa-apa tentangnya."
Baca Juga: Melanggar tabu, rakyat Thailand semakin berani menantang Raja, apa pemicunya?
CBP alias Biro Properti Mahkota didirikan sejak 1936 beroperasi di dunia bawah yang legal. Biro ini tidak termasuk ke dalam lembaga pemerintah maupun swasta, atau bagian dari istana.