Sumber: Reuters | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - BRUSSELS. Perekonomian Rusia berada dalam kondisi yang semakin genting sebagai akibat dari peralihan ke mode perang dan sanksi Barat atas invasi Moskow ke Ukraina.
Hal tersebut diungkapkan oleh laporan Institut Ekonomi Transisi Stockholm (SITE) pada hari Selasa (13/5/2025).
Reuters memberitakan, berdasarkan laporan yang disiapkan untuk pembicaraan para menteri keuangan Uni Eropa, meskipun masih relatif stabil, ekonomi Rusia hanya tangguh di permukaan dan ketidakseimbangan yang mendasarinya serta kelemahan struktural terus meningkat.
"Stimulus fiskal ekonomi perang telah membuat ekonomi tetap bertahan dalam jangka pendek, tetapi ketergantungan pada pembiayaan yang tidak transparan, alokasi sumber daya yang terdistorsi, dan penyangga fiskal yang menyusut membuatnya tidak berkelanjutan dalam jangka panjang. Bertentangan dengan narasi Kremlin, waktu tidak berpihak pada Rusia," katanya.
Uni Eropa telah memberlakukan 16 paket sanksi terhadap Rusia sejak dimulainya perang di Ukraina pada Februari 2022, yang menargetkan sumber pendapatan utama Moskow - ekspor minyak, gas, dan batu bara.
Kekuatan Barat lainnya, termasuk Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Jepang juga memberlakukan sanksi.
Baca Juga: China-Rusia Bakal Bangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Bulan, AS Gigit Jari
Karena ingin menunjukkan sanksi Barat tidak ada gunanya, Rusia mengatakan produk domestik brutonya tumbuh 4,3% pada tahun 2024 setelah ekspansi 3,6% pada tahun 2023.
Tetapi Torbjorn Becker, yang menyampaikan laporan SITE kepada menteri keuangan Uni Eropa, mengatakan angka PDB Rusia tidak dapat dipercaya.
Sebab, Moskow kemungkinan besar sangat meremehkan inflasi yang memengaruhi perhitungan PDB riil.
"Rusia mengklaim inflasi sebesar 9-10%. Lalu, mengapa mereka memiliki suku bunga kebijakan sebesar 21% di bank sentral? Bank sentral reguler mana yang memiliki suku bunga kebijakan yang pada dasarnya 11,50 poin persentase lebih tinggi daripada tingkat inflasi? Jika salah satu bank sentral kita melakukan hal seperti itu, mereka akan kehilangan pekerjaan mereka keesokan harinya," kata Becker kepada wartawan.
Dia menambahkan, "Itu merupakan indikasi yang sangat jelas bahwa inflasi mungkin sebenarnya bukan angka yang tepat. Jika Anda mengecilkan inflasi, Anda akan melebih-lebihkan angka PDB riil."
Baca Juga: Iran Bersiap Sambut Kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin