Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Hendra Gunawan
SANTIAGO. Para analis pasar saham Indonesia memperkirakan, transaksi saham di Bursa Efek Indonesia akan sepi selama Piala Dunia berlangsung. Ada pasar saham yang lebih ekstrem lagi, bahkan hingga hampir tanpa transaksi.
Ini terjadi di Bursa Santiago, Chili. Menurut data Bank Sentral Eropa alias European Central Bank (ECB), saat tim nasional Cile bertanding pada Piala Dunia di Afrika Selatan tahun 2010 silam, transaksi perdagangan saham merosot hingga 99%. Ini merupakan penurunan terbesar di antara 15 negara yang disurvei ECB.
Kelima belas negara itu terdiri dari sembilan negara di Eropa, empat negara Amerika Latin, Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Median penurunan transaksi mencapai 55%. "Terakhir kali Cile bertanding, pasar saham seperti mati," kata Arturo Curtze, analis saham di perusahaan broker dan aset manajemen Vantrust Capital di Santiago kepada Bloomberg.
Curtze menambahkan, semua orang menonton pertandingan. Para manajer mengizinkan karyawan membawa televisi. Di sekolah dan universitas, semua orang membawa televisi. Meja trading pun ada televisi.
Bahkan, sekarang ini, Presiden Michelle Bachelet mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengizinkan fleksibilitas bagi karyawan untuk menonton pertandingan. Dia juga berencana terbang ke Brasil untuk mendukung tim nasional Cile.
Sepekan sebelum dimulainya hajatan Piala Dunia, para trader mulai dari Argentina hingga Jepang siap menurunkan aktivitas bisnis. Perdagangan saham di Buenos Aires merosot hingga 80% ketika tim nasional Argentina bertanding. Penurunan transaksi bursa di Brasil mencapai 75%.
Sedangkan penurunan transaksi di AS turun 43% ketika tim nasional bertanding. Penurunan lebih kecil terjadi di beberapa negara Eropa. Penurunan transaksi bursa ketika tim nasional bertanding rata-rata sebesar 38%.
Transaksi lebih sepi ketika menjelang pertandingan dan tetap rendah hingga sekitar 45 menit setelah pertandingan usai. "Pasar lebih suka mengikuti perkembangan pada lapangan bola ketimbang lantai saham," kata Ekonom ECB Michael Ehrmann dan David-Jan Jansen dalam riset mereka.