Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sistem check-in dan layanan bagasi di sejumlah bandara besar di Eropa terganggu sejak akhir pekan lalu akibat serangan siber terhadap Collins Aerospace, anak usaha RTX.
Badan Keamanan Siber Uni Eropa (ENISA) pada Senin (22/9) mengonfirmasi bahwa insiden tersebut merupakan serangan ransomware, meski asal serangan belum diketahui.
Akibatnya, puluhan penerbangan terganggu dan ribuan penumpang tertahan di bandara sejak Jumat lalu.
Tren Ransomware: Dari Uang Tebusan ke Reputasi Online
Menurut Rafe Pilling, Direktur Intelijen Ancaman di perusahaan keamanan siber Sophos, mayoritas ransomware masih digunakan untuk pemerasan melalui enkripsi data dan pencurian informasi.
Baca Juga: Intelijen Inggris Luncurkan Portal Rahasia di Dark Web untuk Rekrut Mata-Mata Global
Namun, ia menekankan bahwa ada kelompok kecil yang justru mengejar disrupsi maksimal demi reputasi di komunitas bawah tanah dunia maya.
“Serangan yang sengaja dirancang untuk mengacaukan layanan penting semakin terlihat dan semakin ambisius,” jelas Pilling.
Ransomware biasanya digunakan secara sembunyi-sembunyi, dengan target yang dipilih hati-hati agar tidak menarik perhatian penegak hukum. Namun, tren terbaru menunjukkan beberapa kelompok semakin berani memilih target profil tinggi, termasuk perusahaan besar dan infrastruktur publik.
Kelompok Scattered Spider Jadi Sorotan
Salah satu kelompok yang kerap dikaitkan dengan serangan besar adalah Scattered Spider. Pada April lalu, mereka dilaporkan menyerang raksasa ritel Inggris Marks & Spencer, yang menyebabkan gangguan pesanan online selama berminggu-minggu.
Bahkan, National Crime Agency (NCA) Inggris baru-baru ini mendakwa dua remaja terkait serangan siber terhadap Transport for London (TfL) pada 2024, yang ditaksir menyebabkan kerugian jutaan poundsterling.
Menurut FBI, Scattered Spider telah melakukan sekitar 120 intrusi jaringan dan meraup lebih dari $115 juta dari pembayaran tebusan.
Ancaman Meningkat ke Infrastruktur Kritis
Pakar IT Martyn Thomas, Profesor Emeritus di Gresham College London, memperingatkan bahwa masalah ini bisa berkembang cepat jika pengembang perangkat lunak dan tim IT perusahaan tidak meningkatkan keamanan sistem.
Baca Juga: Trump Sindir AI di Inggris: Sedang Menguasai Dunia, Semoga Kalian Benar
“Kita masih beruntung karena motif utama para peretas adalah gangguan atau keuntungan finansial. Namun, jika mereka memilih untuk menimbulkan korban jiwa atau menyerang infrastruktur vital seperti kesehatan, strategi serangan yang sama dapat digunakan dengan dampak jauh lebih serius,” ujarnya.
Reputasi Jadi Mata Uang di Dunia Siber Gelap
Selain keuntungan finansial, status sosial di komunitas hacker menjadi faktor yang mendorong peretas menargetkan sasaran berprofil tinggi.
“Sebagian kecil kelompok peretas, terutama berbasis di Barat, semakin terampil dan berani karena kesuksesan mereka maupun kelompok lain. Bagi mereka, keberhasilan membobol target besar bukan hanya soal uang, tetapi juga membawa prestise dan kredibilitas di jaringan kriminal mereka,” jelas Pilling.