Sumber: Telegraph | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Shell, akan mengurangi tenaga kerja di divisi eksplorasi dan pengembangan minyak dan gas hingga 20 persen. Langkah ini merupakan bagian dari upaya CEO Wael Sawan untuk memperluas program penghematan biaya perusahaan.
Pengurangan ini terjadi setelah sebelumnya Shell juga melakukan pemotongan besar-besaran di bisnis energi terbarukan dan rendah karbon. Sumber-sumber dari perusahaan mengungkapkan bahwa restrukturisasi ini akan berdampak signifikan pada divisi produksi minyak dan gas, terutama di kantor-kantor Shell di Inggris dan Belanda.
Divisi produksi minyak dan gas, yang mencakup unit eksplorasi dan pengembangan sumur, berkontribusi lebih dari sepertiga dari total pendapatan dasar perusahaan yang mencapai $28,25 miliar pada tahun 2023. Pemotongan ini menandai langkah signifikan dalam strategi Shell untuk meningkatkan efisiensi operasional sambil tetap fokus pada pengurangan emisi.
Baca Juga: Shell Singapura Menutup Unit Kilang Bukom untuk Perawatan
Pengurangan Biaya dan Pengalihan Fokus
Juru bicara Shell menyatakan bahwa perusahaan berkomitmen untuk menciptakan lebih banyak nilai dengan emisi yang lebih rendah melalui fokus pada kinerja, disiplin, dan penyederhanaan bisnis. Targetnya adalah mencapai pengurangan biaya operasional struktural sebesar $2-3 miliar hingga akhir tahun 2025.
Wael Sawan, yang menjabat sebagai CEO pada Januari 2023, telah berjanji untuk meningkatkan kinerja Shell guna meningkatkan profitabilitas dan mempersempit kesenjangan valuasi saham perusahaan dibandingkan dengan pesaing besar AS.
Dalam beberapa bulan terakhir, Shell telah memangkas operasinya di sektor angin lepas pantai, energi surya, dan hidrogen. Selain itu, Shell juga menjual bisnis ritel listrik, kilang, dan beberapa unit produksi minyak dan gas. Langkah-langkah ini menunjukkan adanya pergeseran fokus dari investasi dalam energi bersih menuju optimalisasi bisnis intinya.
Baca Juga: Ekspansi Produksi Shell di Proyek Australia
Investasi dalam Energi Bersih Meningkat
Menurut Badan Energi Internasional (IEA), investasi global dalam energi bersih diperkirakan mencapai $2 triliun tahun ini, hampir dua kali lipat dibandingkan investasi dalam bahan bakar fosil. Ini mencerminkan dorongan kuat dari pemerintah di seluruh dunia untuk mencapai target net zero.
Namun, meskipun ada peningkatan investasi dalam energi bersih, Shell tetap menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan kebutuhan untuk tetap kompetitif di pasar energi tradisional sambil merespons tekanan untuk beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan.
Baca Juga: Industri Petrokimia Global Hadapi Tekanan Berat, Konsolidasi Kian Marak
Prospek Masa Depan
Bulan lalu, BP memperkirakan bahwa permintaan global untuk minyak akan mencapai puncaknya pada tahun depan. Prediksi ini menambah urgensi bagi perusahaan-perusahaan energi tradisional seperti Shell untuk menyesuaikan strategi bisnis mereka di tengah perubahan dinamika pasar energi global.
Dengan adanya restrukturisasi besar-besaran ini, Shell berharap dapat meningkatkan efisiensi dan profitabilitas jangka panjangnya, sambil tetap beradaptasi dengan perubahan permintaan energi global. Namun, tantangan untuk tetap relevan di era transisi energi ini tetap menjadi prioritas utama bagi perusahaan.