Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - LONDON. Raksasa energi Shell diperkirakan akan mencatat kerugian hingga US$ 600 juta pada kuartal ketiga 2025 setelah resmi menghentikan proyek biofuel di Rotterdam, Belanda.
Dengan tambahan ini, total beban kerugian dan provisi dari proyek tersebut telah membengkak menjadi US$ 1,4 miliar.
Pabrik biofuel berkapasitas 820.000 ton per tahun itu sebenarnya sudah disetujui pembangunannya sejak 2021. Namun, Shell sempat menunda konstruksi pada tahun lalu, sebelum akhirnya benar-benar membatalkan proyek pada September 2025.
Alasannya, proyek tersebut dinilai tidak akan mampu bersaing secara ekonomis.
Baca Juga: ADHI Jadi Kontraktor Proyek LNG Blok Masela, Simak Rekomendasi Sahamnya
Langkah Shell ini menambah daftar perusahaan minyak dunia yang mundur dari ambisi energi bersih. Sebelumnya, BP memangkas besar-besaran investasi di sektor energi terbarukan, sementara Equinor juga menyatakan akan mengurangi ekspansinya di bisnis energi hijau.
Meski demikian, Shell memberikan sinyal positif di bisnis gas alam cair (LNG). Dalam pembaruan kinerja kuartalan, perusahaan meningkatkan proyeksi produksi LNG kuartal ketiga menjadi 7 juta hingga 7,4 juta ton.
Angka ini lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya sebesar 6,7 juta hingga 7,3 juta ton, serta naik dari realisasi 6,7 juta ton pada kuartal kedua. Shell juga memperkirakan hasil perdagangan LNG akan jauh lebih tinggi, meski tidak merinci detail karena alasan persaingan bisnis.
Selain itu, margin kilang Shell pada kuartal ketiga diperkirakan naik menjadi US$11,6 per barel, dibanding US$8,9 pada tiga bulan sebelumnya.
Baca Juga: Andalkan Dana IPO Rp 260 Miliar, Ini Dua Proyek yang Jadi Fokus Hero Global (HGII)
Namun, bisnis kimia perusahaan justru diperkirakan mencatat kerugian, sementara penurunan produksi di ladang minyak Tupi Brasil membuat Shell harus menanggung beban tambahan US$ 200 juta hingga US$ 400 juta.
Pada kuartal kedua lalu, laba bersih Shell anjlok sepertiga akibat lemahnya hasil perdagangan gas dan turunnya harga minyak. Brent sebagai acuan global rata-rata hanya berada di kisaran US$68 per barel pada periode Juli–September, turun dari US$79 pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Meski menghadapi tekanan di sejumlah lini, analis RBC Capital Markets menilai laporan terbaru Shell tetap menunjukkan kekuatan.
“Kami melihat ini sebagai pembaruan yang solid, dengan perbaikan indikator operasional di dua divisi utama hulu serta peningkatan perdagangan dibanding kuartal sebelumnya, meski kondisi pasar secara umum melemah,” ujar analis RBC.