Sumber: Channel News Asia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Pemerintah Singapura akan memperlakukan praktik vaping atau rokok elektronik sebagai masalah narkoba dan memperketat penegakan hukum.
Langkah ini menandai sikap yang jauh lebih keras terhadap e-rokok yang meski dilarang, semakin marak digunakan di kalangan anak muda.
“Selama ini kita memperlakukan vaping seperti tembakau, paling jauh hanya denda. Tapi itu sudah tidak cukup,” ujar Perdana Menteri Lawrence Wong dalam pidato National Day Rally (NDR) 2025 pada Minggu (17/8/2025) dilansir dari laman Channelnewsasia.
Baca Juga: Ekspor Non-Minyak Singapura Turun 4,6% pada Juli 2025, Meleset dari Perkiraan
Menurut Wong, ke depan pemerintah akan memberlakukan hukuman yang lebih berat, termasuk ancaman penjara bagi pengedar vape yang mengandung zat berbahaya.
Selain itu, kampanye edukasi publik berskala besar juga akan digelar, dimulai dari sekolah, perguruan tinggi, hingga wajib militer.
Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan akan memimpin upaya ini sebagai bagian dari pendekatan whole-of-government.
Ancaman Vaping
Meski dilarang, vape masih terus diselundupkan masuk ke Singapura. Banyak di antaranya mengandung zat adiktif dan berbahaya, termasuk etomidate, sejenis obat bius cepat kerja yang berisiko jika digunakan di luar pengawasan medis.
“Vape itu hanya perangkat. Bahaya sesungguhnya ada pada isi di dalamnya,” tegas Wong.
“Saat ini etomidate, besok bisa jadi zat lain yang lebih kuat dan jauh lebih berbahaya.”
Baca Juga: Taipan Properti Singapura Ong Beng Seng Didenda S$30.000, Ini Kasus yang Menjeratnya
Risiko Teknologi dan AI
Selain isu vaping, PM Wong juga menyinggung dampak teknologi dan kecerdasan buatan (AI) terhadap generasi muda.
Ia menyoroti kekhawatiran orang tua yang anak-anaknya terlalu banyak menghabiskan waktu di depan layar.
“Semua orang kini selalu terhubung 24 jam. Orang tua jadi sulit membatasi, apalagi mengawasi aktivitas anak-anak mereka secara penuh,” katanya.
Menurut Wong, keterpaparan berlebihan pada dunia maya bisa membuat anak muda rentan terhadap konten berbahaya, kehilangan kepercayaan diri, hingga berdampak pada perkembangan mental dan emosional.
Ia juga mencontohkan kasus siswa yang tiba-tiba bisa menulis esai jauh lebih baik, namun ternyata menggunakan ChatGPT.
“Khawatirnya, siswa jadi terlalu bergantung pada AI dan tidak belajar berpikir mandiri,” ujarnya.
Baca Juga: PDB Singapura Tumbuh 4,4% di Kuartal II, Proyeksi 2025 Naik Jadi 2,5%
Mengatur Keseimbangan
Meski mengakui manfaat besar digitalisasi, Wong menekankan perlunya keseimbangan.
“Kita harus melindungi generasi muda dari risiko, sambil tetap membekali mereka untuk memanfaatkan teknologi dengan baik,” katanya.
Singapura kini tengah mempelajari kebijakan sejumlah negara yang telah membatasi akses anak terhadap internet dan media sosial, seperti Australia, Prancis, dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat.
Di tingkat sekolah, guru berperan penting mengajarkan cyber wellness agar siswa menjadi pengguna teknologi yang kritis dan bertanggung jawab.
Baca Juga: Tanpa Denda, Singapura Ajak Warga Buang Vape Lewat Program “Bin the Vape”
Sementara di perguruan tinggi, kurikulum sudah memasukkan keterampilan digital dan pemanfaatan AI.
Namun Wong menegaskan, pendidikan bukan hanya soal menguasai konten atau teknologi.
“Yang lebih penting adalah kualitas manusia yang tidak bisa digantikan mesin: karakter, nilai, empati, dan tujuan hidup,” tuturnya.