Sumber: Channel News Asia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Perdana Menteri Lawrence Wong menyatakan bahwa Singapura akan memperkuat kemampuan rehabilitasi dalam menghadapi meningkatnya kasus radikalisasi diri di dalam negeri.
“Kini kita harus melampaui konseling agama Islam, karena warga Singapura juga terpapar pada beragam ideologi ekstremis lainnya,” ujar Wong dalam pidatonya pada acara apresiasi tahunan Kementerian Dalam Negeri bagi relawan komunitas, Sabtu (13/9/2025) dilansir dari laman Channelnewsasia.
Baca Juga: Cetak Nilai Komersial Rp 900 Miliar, Gree Segera Ekspansi ke Thailand dan Singapura
Sejumlah upaya sudah berjalan, termasuk program intervensi khusus bagi anak muda yang terpapar radikalisasi, mulai dari pendampingan, literasi digital, hingga pelatihan keterampilan sosial.
Wong mencontohkan kasus seorang remaja Kristen yang ditahan pada Desember 2020 karena merencanakan serangan terhadap dua masjid.
Remaja tersebut menjadi orang pertama di Singapura yang ditindak berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri (ISA) karena terpapar ideologi ekstremis sayap kanan.
Setelah menjalani konseling, termasuk dari pendeta dan kelompok rehabilitasi agama, ia kini telah bebas sejak Januari 2024 dan melanjutkan studi di perguruan tinggi.
Wong menegaskan pentingnya memperkuat ikatan sosial agar masyarakat tidak merasa terisolasi.
Baca Juga: Penggemar One Piece Tak Perlu ke Jepang, Mugiwara Store Kini Dibuka di Singapura
“Mereka yang merasa terasing sering mencari makna secara online, lalu menemukan materi ekstremis dan akhirnya tersesat. Karena itu, kita harus membangun rasa memiliki, koneksi manusia, dan kepercayaan,” jelasnya.
Pernyataan ini muncul setelah dua warga Singapura dikenai perintah pembatasan berdasarkan ISA pada pekan lalu: seorang pria berusia 30 tahun yang bercita-cita berperang di Suriah maupun Turki, serta remaja 14 tahun yang mendukung ISIS sekaligus terpapar ideologi sayap kanan dan mengidentifikasi diri sebagai incel.
Kasus remaja tersebut menjadi yang pertama di Singapura terkait radikalisasi diri campuran berbagai ideologi ekstremis.
Sejak 2015, terdapat 18 kasus remaja berusia 14–20 tahun yang ditangani dengan ISA, dengan lebih dari dua pertiga kasus muncul dalam lima tahun terakhir.
Wong menekankan bahwa perkembangan teknologi digital turut membuat propaganda ekstremis semakin mudah diakses.
Baca Juga: Singapura Tergeser Hong Kong, Melorot ke Peringkat 7 Daya Tarik Talenta Dunia
Ia bahkan menyinggung kasus terbaru di Amerika Serikat, yakni pembunuhan aktivis sayap kanan Charlie Kirk, sebagai contoh nyata bagaimana radikalisasi online bisa berujung pada kekerasan di dunia nyata.
Menurut Wong, ancaman tidak lagi terbatas pada ekstremisme agama, melainkan juga mencakup gerakan neo-Nazi hingga subkultur incel yang dikenal dengan kebencian terhadap perempuan.
Untuk itu, Singapura akan memperdalam kerja sama internasional melalui pertukaran intelijen, keahlian, dan sumber daya.
“Banyak negara ingin belajar dari pendekatan rehabilitasi Singapura, dan kita juga akan belajar dari mereka,” kata Wong.
Namun, ia menekankan bahwa kewaspadaan seluruh warga tetap menjadi kunci. “Jika Anda melihat orang terdekat terpapar ideologi ekstremis, tolong laporkan sedini mungkin agar mereka bisa segera ditolong,” ujarnya.
Wong menutup dengan menegaskan bahwa persatuan nasional menjadi tameng utama. “Semakin kita bersatu, semakin kuat kita menghadapi kekuatan yang berusaha memecah belah,” katanya.