Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Perdana Menteri (PM) Jepang Sanae Takaichi menegaskan kedekatannya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump setelah keduanya melakukan pembicaraan telepon pertama pada Selasa (25/11/2025), di tengah meningkatnya ketegangan diplomatik antara Tokyo dan Beijing.
Takaichi mengatakan Trump menyampaikan bahwa keduanya adalah sahabat baik dan mempersilahkannya untuk menghubungi kapan saja.
Menurut Takaichi, Trump sendiri yang mengambil inisiatif untuk mengadakan panggilan tersebut.
Komunikasi ini muncul setelah pernyataan Takaichi sebelumnya mengenai kemungkinan tindakan militer Jepang jika China menyerang Taiwan, yang memicu reaksi keras dari Beijing, termasuk seruan boikot perjalanan ke Jepang.
Baca Juga: Panas Dingin Lagi! China dan AS Bertemu di Malaysia Bahas Perang Dagang Jilid Baru
Ketegangan muncul karena China mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan tidak menutup kemungkinan menggunakan kekuatan untuk mengambil alih pulau yang berjarak sedikit lebih dari 100 kilometer dari wilayah Jepang itu.
Pemerintah Taiwan menegaskan bahwa masa depan mereka hanya dapat ditentukan oleh rakyat Taiwan.
Meskipun Trump belum mengeluarkan komentar publik mengenai perselisihan Jepang-China, Takaichi mencoba meredakan kekhawatiran bahwa AS akan menjaga jarak. Ia menyampaikan bahwa Trump juga menjelaskan kondisi hubungan AS-China, termasuk hasil pembicaraannya dengan Presiden China Xi Jinping sehari sebelumnya.
Laporan Xinhua menyebut Xi menegaskan bahwa kembalinya Taiwan ke China adalah bagian penting dari visi geopolitik Beijing. Trump, dalam unggahan di Truth Social, memuji kemajuan pembicaraan dagang dan menyebut hubungan dengan China sangat kuat, tanpa menyebut isu Taiwan.
Baca Juga: Trump Kehilangan Daya Tawar, Ekonomi China Justru Tumbuh Lebih Cepat dari Perkiraan
Seorang pejabat pemerintah Jepang menyatakan bahwa Tokyo merasa lega karena Trump menghubungi Takaichi segera setelah berkomunikasi dengan Xi. Gedung Putih tidak memberikan komentar terkait panggilan tersebut.
Sementara itu, Perdana Menteri Taiwan Cho Jung-tai menegaskan bahwa bagi 23 juta rakyat Taiwan, opsi kembali ke China bukanlah pilihan. Pemerintah Jepang juga menekankan pentingnya stabilitas hubungan AS-China bagi komunitas internasional.
Namun, ketegangan di lapangan terus meningkat. Beijing mengecam rencana Jepang menempatkan unit rudal permukaan-ke-udara jarak menengah di Pulau Yonaguni, wilayah terdekat Jepang dengan Taiwan.
Jepang bahkan mengerahkan jet tempur setelah mendeteksi drone China terbang di antara Yonaguni dan Taiwan pada Senin.
Meski Takaichi menolak menarik kembali pernyataannya soal kemungkinan keterlibatan militer Jepang, Tokyo menyatakan tetap membuka komunikasi dengan Beijing untuk meredakan ketegangan.
Baca Juga: Trump Puji PM Jepang Sanae Takaichi, Teken Kesepakatan Perdagangan dan Rare Earths
Wakil menteri luar negeri Jepang bertemu dengan Duta Besar China di Tokyo untuk membahas isu-isu mendesak dan langkah penyelesaian.
Upaya rekonsiliasi tak menunjukkan kemajuan berarti, setelah Beijing menolak pertemuan antara Takaichi dan PM China Li Qiang di sela-sela KTT G20 Afrika Selatan.
Para analis menilai hubungan Jepang-China berpotensi memasuki fase “musim dingin berkepanjangan” di bawah Takaichi, yang dikenal berhaluan nasionalis dan baru saja meraih tingkat dukungan publik yang tinggi.
Di sisi lain, sejumlah pejabat Jepang khawatir Trump dapat melunakkan dukungannya terhadap Taiwan demi kesepakatan dagang dengan China.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh pandangan akademisi seperti Seiko Mimaki dari Universitas Doshisha, yang menilai pemerintahan Trump tidak bisa dilepaskan dari kemungkinan mengorbankan isu Taiwan demi kesepakatan dagang.
Baca Juga: China Ingatkan Jepang Akan Menderita Kekalahan Telak Jika Campur Tangan di Taiwan
Meski begitu, Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi menegaskan bahwa absennya komentar publik dari Trump bukan indikator melemahnya dukungan AS. “Bukan menjadi kebiasaan Gedung Putih atau Departemen Luar Negeri untuk memberikan komentar atas setiap isu,” ujarnya.
Dengan tensi yang terus meningkat dan kalkulasi geopolitik yang semakin kompleks, komunikasi antara Tokyo, Washington, dan Beijing akan menjadi faktor kunci bagi stabilitas kawasan dalam beberapa bulan mendatang.













