Sumber: Economic Times | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Warren Buffett untuk menjual sebagian besar saham Apple dan mengumpulkan uang tunai dalam jumlah besar telah memicu berbagai spekulasi.
Media sosial pun ramai dengan beragam reaksi—ada yang menyebutnya sebagai langkah jenius, sementara yang lain mempertanyakan waktu keputusannya. Tak lama setelah itu, pasar saham mengalami penurunan tajam.
Buffett Gandakan Kas dan Likuiditas Hingga Rekor US$334 Miliar
Pada tahun 2024, Berkshire Hathaway hampir melipatgandakan jumlah kas, surat utang negara, dan aset likuid lainnya hingga mencapai US$334 miliar, jumlah tertinggi dalam sejarah perusahaan. Selama tahun tersebut, Berkshire melakukan penjualan bersih saham senilai US$134 miliar, tetapi hanya menghabiskan US$3 miliar untuk pembelian kembali sahamnya sendiri.
Baca Juga: Begini Cara Warren Buffett Melindungi Diri Saat Inflasi
Sebagai perbandingan, pada tahun 2023, Berkshire hanya menjual US$24 miliar saham dan melakukan buyback sebesar US$9 miliar. Meskipun begitu, Buffett tetap meyakinkan para pemegang saham dalam surat tahunannya:
“Meskipun beberapa pihak melihat posisi kas Berkshire sebagai sesuatu yang luar biasa, sebagian besar dana kami masih tetap berada di ekuitas.”
Mengapa Buffett Menjual Apple dan Bank of America?
Buffett sebelumnya memegang 906 juta saham Apple, senilai US$174 miliar—hampir 50% dari portofolio saham Berkshire. Namun, pada akhir 2024, posisi ini telah dipangkas 67% menjadi 300 juta saham, yang nilainya turun menjadi US$75 miliar.
Selain itu, kepemilikan Berkshire di Bank of America juga berkurang 34%, dari US$41 miliar menjadi kurang dari US$30 miliar.
Hasilnya?
- Apple turun 15% dari puncaknya pada November 2024.
- Bank of America turun 20% dalam periode yang sama.
Meskipun Apple masih naik 15% sepanjang 2024, keputusan Buffett untuk menjualnya tetap menimbulkan tanda tanya. Apakah ini pertanda adanya masalah di pasar, atau sekadar perubahan strategi investasi?
Baca Juga: Mengintip Rahasia Warren Buffett Bertahan di Pasar Saham Tahun 2025
Mengapa Buffett Memilih Pegang Kas?
1. Imbal Hasil Obligasi Meningkat
Buffett melihat surat utang negara AS (Treasury bills) kini lebih menarik dibandingkan sebelumnya. Dalam tiga tahun terakhir, imbal hasil obligasi satu tahun melonjak dari kurang dari 1% menjadi lebih dari 4%.
2. Valuasi Saham yang Terlalu Tinggi
Buffett menyatakan bahwa di bawah kondisi saat ini, membangun posisi kas adalah pilihan yang lebih masuk akal.
“Saya tidak keberatan mengumpulkan lebih banyak kas saat ini. Jika melihat kondisi pasar ekuitas dan situasi global, kami menilai ini sebagai langkah yang menarik.”
Sebagai investor jangka panjang, Buffett tidak peduli dengan pergerakan harga saham dalam jangka pendek. Namun, langkahnya kali ini mengindikasikan perubahan besar dalam cara pandangnya terhadap pasar.
Pandangan Para Pakar Tentang Langkah Buffett
Anurag Singh, manajer hedge fund, mendukung keputusan Buffett:
“Keputusan Warren Buffett untuk menyimpan US$325 miliar—hampir 50% dari portofolionya—sangat masuk akal. Saat pasar terlalu optimis, semua risiko ada di tangan investor.”
Sementara itu, Robert Kiyosaki, penulis Rich Dad Poor Dad, memperingatkan kemungkinan krisis besar:
Baca Juga: Inilah 3 Ilmu Investasi yang Berlaku Sepanjang Masa dari Warren Buffett
“BUBBLE SEMUANYA sedang pecah. Saya khawatir ini bisa menjadi kehancuran terbesar dalam sejarah.”
Dengan Nasdaq Composite anjlok lebih dari 4% dalam sehari dan S&P 500 turun hampir 9% dari level tertingginya, ketakutan akan resesi global semakin nyata.
Buffett Bersiap Mengulangi Strategi 2008?
Selama krisis keuangan 2008, Buffett tidak hanya menunggu, tetapi justru membeli saham dengan agresif. Ia mengambil alih saham di Goldman Sachs, Bank of America, dan perusahaan lain dengan harga diskon besar-besaran.
Jika pasar terus jatuh, ada kemungkinan besar Buffett akan melakukan hal yang sama—menunggu peluang emas untuk membeli aset berkualitas tinggi dengan harga murah.