Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konsumen Amerika Serikat yang gemar menikmati minuman beralkohol impor, khususnya Scotch whisky, perlu bersiap menghadapi kenaikan harga.
Analisis industri terbaru mengungkapkan bahwa tarif impor baru yang diberlakukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump dapat membuat harga minuman Eropa melonjak signifikan, dengan rata-rata kenaikan US$1 per gelas whisky di bar.
Dampak Tarif 15% pada Produk Uni Eropa
Tarif sebesar 15% terhadap produk impor dari Uni Eropa diperkirakan berdampak pada perdagangan minuman beralkohol senilai US$10 miliar per tahun. Produk yang terdampak antara lain Scotch whisky asal Inggris, champagne Prancis, whiskey Irlandia, dan prosecco Italia.
Beberapa merek besar seperti Guinness milik Diageo dan Jameson milik Pernod Ricard juga masuk dalam daftar yang terkena imbas.
Menurut analisis yang disusun oleh firma riset ekonomi John Dunham & Associates untuk Wine & Spirits Wholesalers of America (WSWA), tarif ini dapat menaikkan harga grosir minuman keras lebih dari 82 sen per galon, sementara bir relatif lebih kecil dengan kenaikan hanya 3 sen per galon.
Baca Juga: Trump Borong Obligasi dan Saham Bank Besar, Nilai Kekayaan Tembus US$6,5 Miliar
Lonjakan Harga di Level Konsumen
Berdasarkan perhitungan, sebuah botol Scotch 750 ml yang dikenakan tarif rata-rata US$1,92 di pelabuhan bisa berujung pada kenaikan harga lebih dari US$12 per botol di bar, setelah ditambahkan margin keuntungan dan pajak. Dengan asumsi satu botol menghasilkan 12 gelas dua ons, maka konsumen harus merogoh kocek tambahan US$1 per gelas di bar.
“Keputusan harga akan berbeda tergantung perusahaan dan merek. Namun satu hal yang pasti, jika tarif ini terus berlaku, biayanya pasti akan ditanggung konsumen,” ujar Cutter Smith, Ketua WSWA terpilih yang akan mulai menjabat September mendatang.
Efek Lebih Luas: Penjualan Menurun dan Risiko PHK
Analisis tersebut memperkirakan bahwa tarif bisa menghasilkan US$987,1 juta penerimaan pajak federal, meski dihitung setelah memperhitungkan potensi penurunan penjualan. Biaya tambahan ini hampir pasti akan dialihkan ke konsumen dan bisnis, yang pada akhirnya berpotensi menyebabkan penurunan penjualan dan kehilangan lapangan kerja di industri.
Kondisi ini menjadi pukulan tambahan bagi pasar alkohol AS, yang sebelumnya sudah menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Survei Gallup pada Agustus lalu menunjukkan bahwa konsumsi alkohol di Amerika Serikat menyentuh titik terendah sepanjang sejarah pencatatan.
Produk Premium Tahan, Segmen Menengah Tertekan
Para analis menilai, produk berkelas tinggi yang biasanya dikonsumsi konsumen berpenghasilan tinggi cenderung lebih tahan terhadap kenaikan harga. Sebaliknya, produk dengan harga murah hingga menengah lebih rentan mengalami penurunan permintaan.
Baca Juga: Trump Desak Gubernur The Fed Lisa Cook Mundur karena Dugaan Hipotek
Sementara itu, sebagian produsen domestik bisa saja diuntungkan jika produk mereka lebih murah dibandingkan minuman impor. Namun ada pula kekhawatiran mengenai kemungkinan tarif balasan (retaliatory tariffs) dari negara lain yang dapat merugikan produsen AS di pasar global.
Antisipasi Produsen dan Musim Liburan
Beberapa produsen Eropa dikabarkan telah meningkatkan pengiriman ke AS sebelum tarif diberlakukan, guna membangun stok bebas tarif. Ada juga perusahaan seperti Campari dan Diageo yang menyatakan akan menahan kenaikan harga atau mengambil langkah mitigasi lain demi menjaga daya beli konsumen, setidaknya untuk sementara waktu.
Kebijakan ini datang pada saat yang krusial, yaitu menjelang musim liburan Oktober–Desember, ketika konsumsi alkohol biasanya melonjak karena perayaan dan tradisi pemberian hadiah. Jika tarif tetap berlaku, konsumen Amerika bisa mendapati harga minuman favorit mereka lebih mahal dari biasanya.