Sumber: Bloomberg | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KIEV. Presiden Vladimir Putin semakin terdesak untuk segera memberikan respon atas penembakan rudal ke pesawat Malaysia Airlines M17 beberapa hari lalu. Desakan dari dunia internasional semakin tinggi setela AS dan Ukraina menuduh bahwa penembakan rudal tersebut dilakukan oleh sistem milisi yang disuplai oleh militer Rusia.
Menteri Luar Negeri AS John Kerry menyatakan, berdasarkan bukti yang berada di lokasi kejadian menunjukkan Rusia yang menyediakan rudal untuk kemudian ditembakkan ke MH17 pada 17 Juli lalu. Pada kejadian itu, 298 penumpang dan awak kabin tewas.
"Ada bukti-bukti kuat di tempat lokasi kejadian. Kami tahu lintasannya. Kami tahu dari mana datangnya. Kami tahu waktunya," jelas Kerry pada program "Meet the Press" NBC.
Sebelum kejadian ini, Putin sudah dipojokkan dunia internasional, terutama AS dan aliansinya, karena upaya Rusia menduduki Crimea dan sokongannya terhadap kelompok pemberontak pro-Rusia di Ukraina Timur.
Pada pekan lalu, AS dan Eropa meningkatkan sanksi pada Rusia. Kemarin (20/7), Perdana Menteri Inggris David Cameron menghubungi Putin via telpon bahwa serangan terhadap MH17 benar-benar tak dapat diterima.
"Rusia berisiko menjadi negara yang dikucilkan jika tidak berperilaku baik," kata Menteri Luar Negeri Inggris Philip Hammond dalam sebuah wawancara televisi pada Sky News hari ini. "Kami sekarang harus menggunakan perasaan marah yang jelas untuk meningkatkan sanksi melawan Rusia," tambahnya.
Rudal SA-11
Kelompok separatis Ukraina setidaknya memiliki tiga sistem rudal udara buatan rusia. Menurut pejabat militer Ukraina Vitaliy Nayda, sistem rudal tersebut dikenal dengan nama SA-11 Gadfly.
Berdasarkan situs army-technology.com, Gadfly, yang juga dikenal sebagai Buk-M, merupakan senjata yang dijalankan dengan radar yang dapat menemukan lokasi target dengan jarak 140 mil dan dapat mencapai target setinggi 72.000 kaki.