Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - ABU DHABI. Organisasi negara - negara pengekspor minyak (OPEC) setuju meningkatkan produksi minyak global. Namun pasar khawatir bahwa rencana ini tidak memberikan kepastian pasokan ke depan.
Apalagi, lembaga ini telah menetapkan kenaikan minyak sebesar 400.000 barel per hari untuk Maret 2022. Sebelum kenaikan itu diterapkan, sebagian besar anggota OPEC gagal menyediakan pasokan yang mencukupi.
Kurangnya investasi dan kerusuhan kelompok milisi yang berdampak pada pasokan eksportir dari Nigeria ke Libya. Akibatnya, beban yang yang ditanggung makin berat, di tengah keterbatasan pasokan di negara Timur-Tengah.
Hal ini mendorong harga minyak mentah ke level tertinggi pada tujuh tahun terakhir di atas US$ 90 per barel, karena pasokan gagal mengimbangi lonjakan konsumsi bahan bakar pasca pandemi yang kuat.
Baca Juga: Kim Jong Un: Olimpiade Beijing yang Sukses adalah Kemenangan Besar China
Kondisi ini memicu gelombang inflasi yang membuat bank sentral frustrasi dan menimbulkan krisis biaya hidup bagi jutaan orang. Ini merupakan tanda bahaya, khususnya bagi Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden.
Dengan kapasitas cadangan yang terbatas di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, dan Kuwait, para pedagang semakin cemas. Apakah kerugian yang lebih dalam di Libya, serangan lain seperti serangan pesawat tak berawak bulan lalu di Abu Dhabi, atau ketegangan antara Rusia dan Barat atas Ukraina.
“Harga minyak masuk ke level terendah secara historis dari dua penyangga pasar minyak yaitu inventaris dan kapasitas cadangan. Bahkan jika OPEC+ meningkat pasokan lebih cepat, ini hanya akan mengorbankan tingkat kapasitas cadangan yang sangat rendah,” tulis analis Goldman Sachs Group Inc, dikutip dari Bloomberg, Jumat (4/2).
OPEC mengumumkan kenaikan harga minyak pada pertemuan daring pada Rabu (2/2). Negara eksportir minyak ini membuat janji yang sama selama beberapa bulan, dan tidak dapat sepenuhnya merealisasikannya.
Baca Juga: Anggota Parlemen AS Mendorong untuk Mengganti Nama Kedutaan Taiwan di Washington
Seiring berkembangnya keraguan tentang apakah ekspansi ini bisa memenuhi pasokan global pada kuartal pertama 2022. Diperkirakan kebutuhan minyak akan menumpuk dan kembali ke harga US$ 100 per barel atau lebih.
Demonstrasi semacam itu pada akhirnya dapat memprovokasi tekanan yang cukup dari sekutu Arab Saudi di Washington untuk perubahan sikap.
"Jika harga melanjutkan kenaikannya yang tajam, kami melihat jalan ke Arab Saudi yang mengulangi peran regulator dan meningkatkan output," kata Helima Croft, kepala strategi komoditas di RBC Capital Markets.
Keengganan Riyadh sejauh ini berasal dari kekhawatiran bahwa pasar akan kembali ke surplus, karena produsen di AS dan di tempat lain mulai meningkatkan produksi. Menteri Energi Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman telah berulang kali menyukai perubahan pasokan yang hati-hati dan bertahap.
“Kehati-hatian seperti yang telah saya ungkapkan adalah apa yang menyelamatkan kita di OPEC+. Kehati-hatian menentukan bahwa Anda memiliki sedikit pemikiran di sini dan sedikit pemikiran di sana,” katanya.
Namun, setiap barel tambahan harus datang dari Arab dan nagara Timur Tengah karena anggota lain sebagian besar sudah maksimal.