kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Usai Corona, Cina Diprediksi Tetap Jadi Pemasok Utama Global


Rabu, 29 April 2020 / 13:28 WIB
Usai Corona, Cina Diprediksi Tetap Jadi Pemasok Utama Global
ILUSTRASI. Pekerja pabrik di Cina.


Sumber: DW.com | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - DW. Pandemi COVD-19 serta langkah-langkah yang diterapkan dunia untuk menahan laju penyebarannya telah mengganggu rantai pasokan global, membuat pabrik-pabrik berhenti beroperasi maupun banyak supermarket tidak dapat mengisi stok persediaan.

Ketika perusahaan-perusahaan dunia secara bertahap mengambil pelajaran dari krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya agar lebih siap menghadapi krisis serupa di masa depan, mencampakkan Cina – pusat produksi dunia – bukanlah sesuatu hal yang mungkin akan dipertimbangkan.

“Saya tidak berpikir peran Cina sebagai sumber utama industri manufaktur akan dihapuskan. Mereka akan terus seperti itu, mungkin pada tingkat yang sedikit lebih rendah, mungkin industri tertentu akan sedikit berkurang. Akan ada perubahan, tapi secara umum semuanya akan bertahan,” ujar Morris Cohen, profesor Operasi, Informasi, dan Keputusan di Wharton School kepada DW.

“Orang-orang mengatakan kita akan membawa industri manufaktur kembali ke AS. Dapat dipastikan, itu tidak akan terjadi. Itu tidak akan kembali untuk selamanya.”

Cina adalah pemain utama sebagai pemasok suplai global selama dua dekade terakhir, ketika perusahaan-perusahaan Barat mulai memusatkan kegiatan operasional mereka di Cina. Hal ini guna mengurangi pengeluaran sekaligus menjadikan target pasar karena populasinya yang paling padat di dunia.

Saat ini Cina menyumbang hampir 20% dari pendapatan domestik bruto (PDB) dunia, berkat investasi besar-besaran perusahaan asing. Menurut survei terbaru sebuah perusahaan di Jerman, empat dari lima perusahaan besar mengandalkan Cina sebagai pemasok utama mereka.

Pengaruh Cina terhadap rantai pasokan global tidak perlu dipertanyakan lagi. Ketika Cina mulai menutup akses Provinsi Hubei – pusat manufaktur – sebagai langkah mencegah penyebaran virus corona, perusahaan-perusahaan dunia mulai merasakan imbasnya. Beberapa produsen otomotif seperti Fiat Chrysler dan Hyundai terpaksa menghentikan produksinya karena mereka tidak mendapat pasokan komponen dari Cina.

Strategi ‘Cina +1’

Krisis sekarang diperkirakan akan mendorong perusahaan-perusahaan untuk melakukan diversifikasi ke negara-negara seperti Vietnam, Malaysia, dan Filipina karena mereka berupaya mengurangi risiko dan memastikan suplai pasokan mereka.

Untuk lebih jelasnya, perusahaan-perusahaan telah merelokasi kegiatan operasional mereka keluar Cina selama beberapa tahun terakhir, karena semakin tingginya biaya tenaga kerja di sana. Relokasi mendapat momentum ketika perang dagang antara AS dan Cina mencapai puncaknya di tahun 2018-2019, ketika perusahaan-perusahaan yang ingin menghindari tarif yang lebih tinggi dan meningkatnya ketegangan antara kedua negara mengakibtakan perusahaan-perusahaan tersebut mengalihkan kegiatan operasionalnya ke negara-negara tetangga.

“Selama krisis virus corona, banyak perusahaan dunia mencari sumber alternatif selain Cina. Beberapa dari mereka berhasil menemukan, yang lain tidak dapat menemukannya dalam waktu yang singkat. Mereka yang berhasil menemukan akan terus menggunakannya di masa depan,” tutur Knut Alicke, pakar bidang rantai pasokan di konsultan Mckinsey kepada DW.

Namun para pakar sepakat bahwa meskipun perusahaan memulai operasi mencari pemasok di negara lain, mereka akan tetap terus mengandalkan Cina – sebuah strategi yang disebut Cina +1- untuk memenuhi pasar domestik negara tersebut. Ada juga pemahaman bahwa negara lain kemungkinan tidak memiliki kapasitas dalam hal tenaga kerja terampil, infrastruktur, dan bahan baku untuk memenuhi permintaan perusahaan-perusahaan laiknya Cina.

Lebih dari 70% perusahaan yang disurvei Kamar Dagang Amerika di Cina (AmCham China) pada bulan Maret mengungkapkan mereka belum berencana untuk merelokasi kegiatan operasional dan rantai pasokan di luar Cina karena COVID-19.

“Berbeda dengan beberapa narasi global, data kami yang berbasis di Cina menunjukkan bahwa mayoritas anggota kami tidak akan berkemas meninggalkan Cina dalam waktu dekat,” ujar Alan Beebe, Presiden AmCham China. “Perlu ditekankan bahwa Cina muncul terdepan di kurva global ketika negara-negara muali membangun perekonomian setelah lockdown berbulan-bulan, dan banyak alasan mengapa perusahaan-perusahaan di Cina masih bertahan sampai sekarang.”

Sektor farmasi terganggu

Tetapi setidaknya ada satu sektor industri di mana hal-hal bisa berjalan sedikit berbeda: sektor farmasi. Pandemi virus corona telah mengekspos ketergantungan dunia akan Cina untuk obat-obatan vital dan peralatan medis sepeti masker wajah dan ventilator.

Cina dan India memainkan peran penting dalam rantai pasokan farmasi dunia. Cina memproduksi antara 80-90% pasokan global untuk bahan aktif antibiotik, sementara India memimpin produksi obat-obatan generik.

Perusahaan farmasi Cina telah memasok lebih dari 90% antibiotik, vitamin C, ibuprofen, dan hidrokortison di AS dalam beberapa tahun terakhir, menurut pakar kesehatan Dewan Hubungan Luar Negeri, sebuah lembaga think tank AS.

Meskipun pandemi saat ini tidak menyebabkan kekurangan obat-obatan utama, sebagian besar perusahaan-perusaahaan dunia memutuskan untuk mengakhir dominasi Cina dan India di industri farmasi dengan merelokasi produksi obat-obatan ke AS dan Eropa.

“Kami tidak sepenuhnya menyadari risiko itu. Anda memiliki satu sumber dan sumber tersebut terganggu, Anda dalam masalah besar. Jadi, hal yang bijaksana dan rasional adalah memikirkan kembali dan mungkin memiliki banyak.

"Kami tidak sepenuhnya menyadari betapa berisikonya itu. Anda memiliki satu pemasok dan jika pasokan itu terganggu, Anda dalam masalah besar. Jadi, hal yang bijaksana dan rasional adalah memikirkan kembali dan mungkin memiliki lebih banyak pemasok," kata Cohen. “Saya pikir perusahaan farmasi akan bereaksi cepat kaena risiko dan konsekuensi gangguan sangat besar dan tidaklah sulit untuk mengalihkan produksi. Mungkin lebih mahal, tetapi tidak seperti memindahkan pabrik baja atau pabrik mobil.

Penundaan terus-menerus

Para pakar bidang rantai pasokan mengatakan wabah saat ini dapat mendorong perusahaan untuk membuat rantai pasokan mereka lebih kuat dengan meningkatkan inventaris, mendaftar pemasok alternatif (yang lebih dekat), dan menggunakan data dan teknologi untuk menjaga biaya lebih baik dari pemasok dan pelanggan tingkat terendah sekalipun.

Pengamatan serupa juga pernah dilakukan setelah peristiwa tsunami Jepang 2011 dan hancurnya reaktor nuklir Fukushima, wabah SARS 2002-2003, dan krisis keuangan global 2008-2009, tetapi tidak banyak perusahaan yang bersusah payah mengadopsi mitigasi risiko tersebut. Sebagian besar perusahaan terus menerus mencari cara untuk menurunkan pengeluaran karena besarnya nilai investasi.

“Dalam beberapa tahun terakhir, kapan pun terjadi krisis, orang akan mulai berpikir: Kita perlu melakukan sesuatu, kita perlu mengartur kesinambungan bisnis, kita perlu bekerja dengan menggunakan manajemen risiko rantai pasokan. Setelah enam bulan krisis berakhir, wacana ini juga berakhir,” papar Alicke. “Itu sangat membuat frustasi orang-orang yang bekerja di bidang rantai pasokan.”

Namun, Alicke mengatakan parahnya krisis saat ini mungkin memaksa perusahan-perusahaan dunia bertindak.

“Ini adalah kombinasi berbagai faktor. Krisis ini jauh lebih parah dan dampaknya jauh lebih tinggi. Rantai pasokan jauh lebih terhubung di masa sekarang. Cina tidak mempunyai peran yang sama pada rantai pasokan global saat bencana Fukushima terjadi. Dan sekarang ada tekanan investor terhadap perusahaan untuk memastikan bahwa rantai pasokan mereka kuat,” pungkasnya.




TERBARU

[X]
×