Sumber: AFP | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - Presiden China, Xi Jinping, kembali menekan isu sensitif Taiwan dalam sambungan telepon dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Senin (224/11/2025). Dalam percakapan itu, Xi juga menekankan pentingnya menjaga momentum gencatan dagang yang rapuh antara kedua negara.
Mengutip AFP, Kementerian Luar Negeri China menyebutkan bahwa selain Taiwan, percakapan juga menyentuh isu Ukraina. Namun, Taiwan menjadi fokus utama, terutama karena China tengah berseteru dengan Jepang, sekutu utama AS, dalam beberapa pekan terakhir terkait pulau yang memiliki pemerintahan sendiri tersebut.
China mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya. Xi mengatakan kepada Trump bahwa “kembalinya Taiwan” merupakan bagian penting dari tatanan dunia pascaperang, yang menurutnya terbentuk dari perjuangan bersama China dan Amerika melawan “fasisme dan militerisme”.
“Melihat perkembangan situasi saat ini, semakin penting bagi kita untuk bersama-sama menjaga kemenangan Perang Dunia II,” kata Xi.
Ketegangan diplomatik antara Beijing dan Tokyo bermula setelah Perdana Menteri Jepang yang baru, Sanae Takaichi, menyatakan Jepang bisa saja terlibat secara militer jika China menyerang Taiwan.
AS memang tidak secara resmi mengakui Taiwan sebagai negara berdaulat, namun Washington menjadi mitra utama sekaligus pemasok senjata terbesar Taiwan.
Trump, dalam unggahan media sosial setelah panggilan telepon itu, memuji hubungan AS–China yang dinilainya “sangat kuat”, namun ia tidak menyinggung soal Taiwan.
Baca Juga: Ukraina Gempur Novorossiysk, Permukiman Rusak dan Empat Warga Terluka
Menurut Kementerian Luar Negeri China, Trump mengatakan bahwa Amerika Serikat “memahami betapa pentingnya isu Taiwan bagi China”.
Trump juga memastikan akan berkunjung ke China pada April mendatang, sementara Xi dijadwalkan melakukan kunjungan kenegaraan ke Washington pada 2026.
Arah Pembicaraan Dagang
Panggilan telepon ini dilakukan setelah keduanya bertemu pada akhir Oktober—pertemuan pertama sejak 2019—yang banyak dibahas publik karena berkaitan dengan negosiasi dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
Pertikaian dagang Washington–Beijing mencakup segala hal mulai dari rare earth (logam tanah jarang), kedelai, hingga tarif pelabuhan, dan telah mengganggu pasar serta rantai pasokan global selama berbulan-bulan.
Dalam pertemuan di Korea Selatan, keduanya mencapai kesepakatan sementara: Beijing akan menangguhkan pembatasan ekspor mineral penting selama satu tahun.
China memiliki posisi dominan dalam penambangan dan pemrosesan logam tanah jarang—komponen penting dalam industri elektronik, otomotif, hingga pertahanan.
Sebagai imbalannya, Amerika Serikat akan menurunkan tarif barang dari China, sementara Beijing berjanji membeli setidaknya 12 juta ton kedelai AS hingga akhir tahun ini, dan 25 juta ton pada 2026.
Baca Juga: Emas Spot Tertahan Selasa (25/11) Pagi Setelah Lonjakan 2%, Cermati Langkah The Fed
Dalam percakapan Senin itu, Xi mengatakan kerja sama ekonomi AS–China harus “tetap berlanjut”. Ia menyebut pertemuan di Korea Selatan sebagai momen penting yang “mengoreksi arah kapal besar hubungan China–AS agar tetap stabil.”
Sejak pertemuan itu, kata Xi, hubungan kedua negara menunjukkan arah yang “lebih stabil dan positif” dan itu diapresiasi baik oleh kedua negara maupun komunitas internasional.
Trump pun menunjukkan nada optimistis.
“Sejak pertemuan di Korea, kemajuan yang signifikan telah dicapai. Sekarang kita bisa fokus pada gambaran yang lebih besar,” katanya.
Menteri Keuangan AS Scott Bessent sebelumnya mengatakan Washington berharap bisa merampungkan kesepakatan pasokan mineral penting dengan China sebelum libur Thanksgiving minggu ini.
Tonton: Harga Emas Antam Terbang Hari Ini (25 November 2025)
Perang Ukraina Masih Dibahas
Selain isu Taiwan dan perdagangan, perang Ukraina juga menjadi agenda penting. Trump tengah mengupayakan kesepakatan damai baru—yang dikritik sebagian pihak karena dianggap terlalu mengakomodasi kepentingan Rusia dan mengorbankan Ukraina.
China tetap mempertahankan posisi sebagai pihak netral. Dalam panggilan telepon itu, Xi kembali menyatakan dukungan pada upaya mengakhiri perang.
Menurut Beijing, Xi berharap pihak-pihak terkait bisa mempersempit perbedaan, mencapai kesepakatan damai yang “adil, tahan lama, dan mengikat”, serta menyelesaikan akar penyebab konflik.
Kesimpulan
Percakapan telepon ini memperlihatkan dua dinamika besar:
1. Isu Taiwan menjadi semakin sensitif, terutama setelah komentar Jepang yang membuka potensi keterlibatan militer dalam konflik Taiwan. Xi memanfaatkan momentum ini untuk menekan Trump agar lebih tegas memahami posisi Beijing.
2. Ada tanda-tanda mencairnya ketegangan dagang setelah bertahun-tahun perang tarif. Kesepakatan mineral strategis dan pembelian kedelai jadi sinyal penting bagi pasar global.
Namun, meski nada politik terdengar hangat, isu Taiwan tetap menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa menggagalkan stabilisasi hubungan AS–China.













