kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.951.000   23.000   1,19%
  • USD/IDR 16.300   94,00   0,58%
  • IDX 7.166   -38,30   -0,53%
  • KOMPAS100 1.044   -6,02   -0,57%
  • LQ45 802   -6,08   -0,75%
  • ISSI 232   -0,07   -0,03%
  • IDX30 416   -3,18   -0,76%
  • IDXHIDIV20 486   -4,82   -0,98%
  • IDX80 117   -0,79   -0,67%
  • IDXV30 119   -0,02   -0,02%
  • IDXQ30 134   -1,35   -1,00%

93,3% Bitcoin Sudah Ditambang! Apa yang Akan Terjadi Saat Seluruh 21 Juta BTC Habis?


Kamis, 12 Juni 2025 / 21:18 WIB
93,3% Bitcoin Sudah Ditambang! Apa yang Akan Terjadi Saat Seluruh 21 Juta BTC Habis?
ILUSTRASI. Bitcoin dikenal sebagai aset digital yang memiliki suplai terbatas — hanya akan ada 21 juta BTC yang pernah ada..  IMAGO/Robert Schmiegelt


Sumber: Cointelegraph | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bitcoin dikenal sebagai aset digital yang memiliki suplai terbatas — hanya akan ada 21 juta BTC yang pernah ada.

Batas maksimal ini tertanam secara permanen dalam kode protokol Bitcoin dan tidak bisa diubah tanpa perubahan besar yang akan memecah konsensus jaringan. Karena itu, kelangkaan Bitcoin menjadi salah satu kekuatan utamanya sebagai aset deflasi.

Total Bitcoin yang Sudah Ditambang hingga Mei 2025

Hingga Mei 2025, sekitar 19,6 juta BTC telah berhasil ditambang, atau sekitar 93,3% dari total suplai maksimal. Artinya, hanya tersisa sekitar 1,4 juta BTC yang masih bisa ditambang di masa mendatang — dan proses ini akan berjalan sangat lambat.

Mengapa demikian? Hal ini disebabkan oleh mekanisme Bitcoin halving, di mana jumlah hadiah blok (block reward) berkurang separuh setiap 210.000 blok, atau sekitar setiap empat tahun.

Baca Juga: Berapa Harga Wajar Bitcoin? Analis Ramal BTC Tembus US$200.000 Tahun Ini!

Jadwal Halving: Distribusi yang Makin Lambat

Saat pertama kali diluncurkan pada tahun 2009, hadiah blok Bitcoin adalah 50 BTC. Namun, karena mekanisme halving, jumlah tersebut kini jauh lebih kecil. Lebih dari 87% dari total suplai BTC telah ditambang hanya dalam dekade pertama. Seiring waktu, laju penciptaan BTC terus melambat secara eksponensial.

Diperkirakan bahwa 99% dari semua Bitcoin akan selesai ditambang pada tahun 2035, sementara Bitcoin terakhir — yang dikenal sebagai satoshi terakhir — tidak akan ditambang hingga sekitar tahun 2140.

Menariknya, kurva suplai Bitcoin bersifat asimtotik. Artinya, meski jumlah BTC terus mendekati 21 juta, sistem tidak pernah benar-benar "mencapai nol" dalam proses reward. Hal ini sering dibandingkan dengan paradoks Zeno dalam ekonomi.

Bitcoin yang Hilang: Suplai Nyata Lebih Sedikit dari yang Anda Kira

Walaupun 93% dari Bitcoin telah ditambang, banyak di antaranya sudah tidak bisa diakses lagi secara permanen. Alasannya bisa bermacam-macam: dompet digital yang lupa kata sandi, perangkat keras yang rusak, atau pemilik awal yang tidak pernah memindahkan koinnya.

Berdasarkan riset dari Chainalysis dan Glassnode, diperkirakan antara 3 juta hingga 3,8 juta BTC — sekitar 14% hingga 18% dari total suplai — telah hilang selamanya. Salah satu dompet yang dianggap milik pencipta Bitcoin, Satoshi Nakamoto, menyimpan lebih dari 1,1 juta BTC dan belum pernah disentuh.

Dengan kata lain, suplai Bitcoin yang benar-benar beredar bisa jadi hanya sekitar 16–17 juta BTC, bukan 21 juta.

Baca Juga: Robert Kiyosaki: Perang Saudara Telah Dimulai! Simpan Emas, Perak, dan Bitcoin Anda

Dibandingkan dengan Emas: Bitcoin Lebih Langka dari yang Terlihat

Sampai saat ini, sekitar 85% dari total pasokan emas dunia telah ditambang, dan hampir semuanya masih dapat digunakan kembali melalui daur ulang — tidak demikian halnya dengan Bitcoin. Sekali BTC hilang, ia akan hilang selamanya.

Inilah yang membuat Bitcoin lebih langka dari emas:

  • Suplai maksimal tetap (fixed cap)

  • Tidak bisa dipulihkan jika hilang

  • Transparan dan dapat diaudit secara publik

Apa yang Terjadi Setelah Semua Bitcoin Ditambang?

Banyak yang khawatir bahwa ketika hadiah blok makin kecil, keamanan jaringan akan terganggu karena insentif berkurang. Namun, sistem Bitcoin memiliki mekanisme penyesuaian kesulitan (difficulty adjustment) setiap 2.016 blok. Ini memastikan bahwa blok terus ditambang setiap 10 menit meskipun jumlah penambang naik atau turun.

Setelah hadiah blok menjadi sangat kecil (seperti 0.78125 BTC pasca halving 2028), keuntungan akan tetap didorong oleh harga pasar dan biaya operasional, bukan hanya jumlah BTC yang diterima. Selama harga BTC tetap cukup tinggi untuk menutupi biaya, para penambang akan tetap aktif.

Baca Juga: Bitcoin Berpotensi Tembus Rekor Tertinggi pada Q3 2025, Meniru Pola Kenaikan Emas?

Contoh nyata terlihat pada tahun 2021, saat China melarang penambangan Bitcoin. Hashrate global turun 50% dalam waktu singkat, namun jaringan tetap beroperasi normal dan pulih sepenuhnya dalam beberapa bulan.

Konsumsi Energi dan Masa Depan Penambangan Bitcoin

Anggapan bahwa harga Bitcoin yang tinggi akan memicu konsumsi energi tak terbatas adalah mitos. Faktanya, penambangan sangat bergantung pada profitabilitas, bukan harga semata.

Penambang cenderung mencari energi termurah — dan itu berarti energi terbarukan. Sejak larangan penambangan di Tiongkok, sebagian besar aktivitas penambangan berpindah ke wilayah dengan surplus energi terbarukan seperti Amerika Utara dan Eropa Utara.

Menurut data dari Cambridge Centre for Alternative Finance, sekitar 52% hingga 59% penambangan Bitcoin kini menggunakan energi terbarukan atau rendah emisi. Regulasi juga mendorong tren ini, dengan insentif bagi operasi ramah lingkungan dan penalti bagi penambangan berbasis bahan bakar fosil.

Selanjutnya: Mendagri Ingatkan Pemda Segera Buat Regulasi Pembatasan Tempat Merokok

Menarik Dibaca: Barenbliss Luncurkan Produk Khusus Bibir, Yakni Star-Glazing Steel Lipcerin




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×