kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.443.000   4.000   0,28%
  • USD/IDR 15.405   0,00   0,00%
  • IDX 7.812   13,98   0,18%
  • KOMPAS100 1.184   -0,59   -0,05%
  • LQ45 959   0,88   0,09%
  • ISSI 227   0,13   0,06%
  • IDX30 489   0,88   0,18%
  • IDXHIDIV20 590   1,24   0,21%
  • IDX80 134   -0,05   -0,04%
  • IDXV30 139   -1,25   -0,90%
  • IDXQ30 163   0,24   0,15%

Anak Muda China Makin Ogah Menikah, Apa yang Terjadi?


Senin, 07 Agustus 2023 / 07:05 WIB
Anak Muda China Makin Ogah Menikah, Apa yang Terjadi?


Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

KONTAN.CO.ID. BEIJING - Pemerintah China telah meluncurkan sejumlah strategi untuk mendorong warganya untuk menikah. Salah satunya dengan memberikan sejumlah insentif. 

Akan tetapi, angka pengangguran kaum muda yang tinggi dan tekanan keuangan membuat kaum muda tidak memilih untuk menikah dan memulai keluarga.

Melansir DW, Bagi Jingyi Hou, 29 tahun, seorang guru sekolah di provinsi Shanxi utara China, pernikahan bukanlah prioritas.

Terlepas dari kegigihan orang tuanya dalam mengatur sekitar 20 kencan buta untuknya selama tiga tahun terakhir, Jingyi tetap melajang dan tidak merasakan urgensi untuk menemukan pasangan hidup.

"Pernikahan adalah tentang kebebasan. Tidak semua orang perlu menikah secepat mungkin," katanya kepada DW.

Dan Jingyi tidak sendiri. Menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh Kementerian Urusan Sipil China pada bulan Juni, jumlah pencatatan pernikahan di seluruh negeri adalah yang terendah dalam 37 tahun, setelah delapan tahun mengalami penurunan. 

Hanya 6,83 juta pasangan yang menikah di China di sepanjang tahun lalu.

Baca Juga: Buah Durian Semakin Populer di China, Ada Apa?

Di China, semakin banyak anak muda, terutama wanita yang lahir pada tahun 1990-an dan 2000-an, menjadi acuh tak acuh terhadap harapan masyarakat untuk menikah dini.

Menurut Buku Tahunan Sensus China terbaru, usia rata-rata pernikahan pertama di negara itu pada tahun 2020 adalah 28,6 tahun, hampir empat tahun lebih tua dari tahun 2010.

Alasan mengapa wanita di China menolak pernikahan

Ye Liu, dosen senior di Lau China Institute di King's College London, mengatakan kepada DW bahwa ketidaksetaraan gender masih tertanam kuat di tempat kerja China. Ini termasuk kuota gender yang diskriminatif dan evaluasi calon perempuan berdasarkan kemungkinan kehamilan dan perlunya cuti melahirkan.

Kondisi ini telah memaksa banyak wanita muda untuk memilih antara karir mereka atau memulai sebuah keluarga.

"Ketika perempuan menghabiskan waktu lebih lama dalam pendidikan, secara alami mereka menunda usia memasuki pernikahan dan menjadi orang tua," kata Ye.

Christa, yang berbicara kepada DW dengan syarat menggunakan nama samaran, mengatakan dirinya tidak perlu menikah.

"Saya percaya bahwa menikah akan mempengaruhi prestasi saya, terutama karir saya," kata perempuan berusia 25 tahun, yang bekerja sebagai manajer proyek sebuah perusahaan manufaktur di China.

Baca Juga: China Rilis Proyek Budaya Pernikahan & Melahirkan Era Baru, Seperti Apa?

Kaum muda China berjuang secara finansial

Krisis ekonomi China baru-baru ini juga berkontribusi pada kurangnya minat menikah di kalangan anak muda.

Pada tahun 2023, pengangguran kaum muda China — yang mewakili mereka yang berusia antara 16 dan 24 tahun — mencapai rekor tertinggi yakni 20,8%.

Shan Shan, seorang wanita Tionghoa yang lebih suka dipanggil dengan nama panggilannya, mengatakan kepada DW bahwa sulit mencari nafkah di pasar kerja saat ini. Stres mencari pekerjaan membuatnya tidak punya energi untuk memikirkan pernikahan.

Demikian pula, Xiao Gang, seorang insinyur perangkat lunak, mengatakan kepada DW juga menggunakan nama samaran, bahwa PHK yang meluas di industri teknologi mendorongnya untuk bekerja lembur secara teratur karena takut dipecat. 

"Ketika teman-teman mengundang saya untuk jalan-jalan dengan gadis-gadis, saya tidak punya energi untuk keluar," katanya.

Baca Juga: Laporan PBB: India Siap Salip China sebagai Negara Terpadat Dunia

China melawan masalah demografi yang membayangi

Pada saat kaum muda China semakin enggan untuk menikah, angka kelahiran di negara itu terus menurun.

Menurut data yang dirilis Human Rights Watch, tingkat kesuburan total di Tiongkok telah menurun dari 2,6 kelahiran per perempuan pada akhir 1980-an menjadi 1,15 pada 2021.

Selain itu, tahun lalu menandai penurunan populasi pertama di China sejak 1961, ketika kelaparan yang menghancurkan mengakibatkan lebih banyak kematian daripada kelahiran.

"China sedang memasuki krisis demografis yang parah ... menjadi negara yang semakin tua secara demografis," kata Dudley Poston, seorang profesor sosiologi emeritus di Texas A&M University.

Ia menambahkan, usia rata-rata penduduk China saat ini adalah 38 tahun. Di India, yang awal tahun ini diproyeksikan oleh PBB untuk mengambil alih China sebagai negara terpadat di dunia, rata-rata usianya adalah 28 tahun.

Pada bulan Mei, Asosiasi Keluarga Berencana China meluncurkan proyek percontohan di lebih dari 20 kota untuk memberikan tunjangan perumahan, pajak, dan pendidikan bagi keluarga dengan dua anak atau lebih.

Baca Juga: Di China, Tingkat Perkawinan Turun dan Harga Pengantin Semakin Mahal

Tetapi upaya pemerintah telah ditanggapi dengan sinisme yang meluas di media sosial, dengan sedikit orang dewasa muda yang menganggap skema tersebut bermanfaat.

"Saya pikir itu konyol. Banyak anak muda seperti saya menghadapi kesulitan mendapatkan pekerjaan," kata Christa. 

Christa menambahkan sangat tidak masuk akal mengapa orang ingin memulai sebuah keluarga ketika mereka hampir tidak bisa mengurus diri sendiri secara finansial.

Biaya pernikahan semakin mahal

Selain permasalahan di atas, ada satu lagi penyebab mengapa kaum muda China semakin enggan menikah. Yakni, harga pengantin alias biaya pernikahan semakin mahal. 

Melansir pemberitaan Bloomberg pada Maret 2023 lalu, pemerintah China tengah berupaya keras untuk mengatasi hal tersebut. Terbaru, sebagai upaya untuk meningkatkan angka kelahiran yang lesu, China melakukan tindakan keras terhadap kebiasaan pernikahan yang mahal. 

Namun, hanya sedikit orang - termasuk para pejabat itu sendiri - yang melihat kebijakan tersebut akan membuat perbedaan. 

Hadiah pertunangan, atau caili, adalah tradisi di mana calon pengantin pria membayar "harga pengantin" kepada keluarga wanita untuk menunjukkan ketulusan dan kekayaannya, sekaligus memberi kompensasi kepada mereka karena membesarkan anak perempuan di negara yang telah lama menyukai anak laki-laki.  

Menurut survei terhadap 1.846 penduduk yang dilakukan oleh Tencent News pada tahun 2020, hampir tiga perempat pernikahan di China melibatkan kebiasaan tersebut. 

Keluarga diharapkan membayar puluhan ribu dolar, kelipatan dari pendapatan tahunan mereka. Ini bukan pertama kalinya pihak berwenang membidik praktik tersebut. 

Baca Juga: Saat China Pusing Alami Krisis Bayi, Ini Jurus-Jurus Jitu yang Dikeluarkan

Akan tetapi, sekarang ada kebijakan keras baru terhadap tradisi tersebut karena China mencoba untuk mendongkrak kembali penurunan demografisnya. 

Pada bulan Januari, provinsi Hebei tengah mulai menindak apa yang disebutnya "tradisi pernikahan yang jelek", yang selain caili juga termasuk permainan pernikahan yang kasar.  

Kabupaten di provinsi pesisir Jiangsu memulai kampanye bulan lalu untuk mencari "ibu mertua tercantik" yang tidak meminta terlalu banyak uang.  

Sebuah kota di Jiangxi membuat wanita lajang menandatangani surat pada bulan Februari berjanji untuk tidak meminta caili yang terlalu tinggi. 

Sementara ibu kota provinsi mengadakan pernikahan massal pada Hari Perempuan Internasional dengan slogan: "Kami ingin kebahagiaan bukan mahar pengantin."




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management Principles (SCMP) Mastering Management and Strategic Leadership (MiniMBA 2024)

[X]
×