Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Kebijakan moneter super mudah selama satu dekade terakhir memang telah menciptakan gelembung aset (bubble) di seluruh dunia. Sejumlah analis menilai bubble sudah pecah seiring rencana pengetatan kebijakan yang akan dilakukan The Fed.
Menurut Ahli Strategis Bank of Amerika, termasuk Muchael Hartnett, gelembung telah pecah secara bersamaan pada berbagai aset seperti kripto, paladium, saham jangka panjang perusahaan teknologi, dan aset lain yang secara historis beresiko.
"Namun, penurunan spekulatif mulai terjadi karena investor bersiap menghadapi pengetatan kebijakan The Fed," katanya dikutip Bloomberg, Senin (10/1).
Jay Hatfield, Manajer Portofolio Infrastructure Capital Advisors mengatakan, pengurangan likuiditas di pasar yang dilakukan The Fed akan menyebabkan saham premium beresiko dan suku bunga naik. Itu akan berlanjut membawa efek tak proporsional pada aset paling berisiko di pasar, termasuk saham teknologi yang merugi dan terutama cryptocurenncy yang tak punya nilai intrinsik.
Baca Juga: Kasus Omicron Banjiri RS NHS, Perusahaan Kesehatan Swasta Inggris dalam Siaga Tinggi
Inovasi ETF unggulan dari Ark Investmen Management telah merosot sekitar 46% dari rekor tertingginya pada Februari 2021. Sinyal Hawkish dari The Fed telah memukul saham-saham teknologi bernilai mahal seperti Tesla dan Roku yang mendominasi portofolio ARK.
Spekulasi juga menurun di saham-saham paling beresiko di pasar ekuitas. Sejumlah saham teknologi yang tidak menguntungkan Goldman Sachs telah jatuh setelah kenaikan selama bertahun-tahun di saat indeks yang melacak SPAC turun 35% dari level tertingginya.
Todd Rosenbluth, Kepala Peneliti ETF di CFRA mengatakan, suku bunga yang berpotensi meningkat menyebabkan investor menilai kembali risiko yang bersedia mereka ambil. Menurutnya, perusahaan dengan bisnis yang kurang stabil semakin tidak disukai investor.
Namun, dia tidak menganggap kondisi pasar saat ini sebagai kondisi pecahnya bubble. “Saya tidak suka frase gelembung karena hanya terlihat jelas di belakang. Kami berada di tengah tren ini dan mungkin berbalik arah atau mungkin tidak," katanya.
Baca Juga: Ekonominya Terganggu, Filipina Desak Indonesia Cabut Larangan Ekspor Batubara
Indeks Nasdaq Biotech turun 6,5% pada minggu pertama tahun 2022. Banyak anggota indeks belum menghasilkan penjualan atau keuntungan dan telah dipengaruhi oleh rotasi investor dari saham berisiko tinggi dan bernilai tinggi.
Sementara itu, Invesco Solar ETF mencatatkan arus keluar lebih dari US$ 70 juta pada Kamis lalu, terbesar sejak Maret tahun lalu. Perusahaan ini pada tahun 2020 mencatatkan gain lebih dari 230% telah kehilangan kilaunya dalam beberapa hari terakhir karena The Fed berubah lebih hawkish.
Cryptocurrency belum terhindar dari pencucian spekulatif. Bitcoin telah anjlok sekitar 40 % pada Jumat malam setelah mencapai rekor tertinggi hampir US$ 69.000 pada November. Ether, cryptocurrency terbesar kedua, turun sekitar 35% dari rekor tertingginya pada November.
Menurut Noelle Acheson, Head of Market Insights Genesis Global Trading, penarikan Bitcoin lebih didorong oleh trader dan investor jangka pendek yang menganggap Bitcoin sebagai aset berisiko dan cenderung melikuidasi posisi untuk mengurangi risiko portofolio mereka
Sedangkan menurut Global X Fintech ETF, pelemahan saham teknologi dan cryptocurrency merupakan pukulan ganda untuk dana yang diperdagangkan di bursa yang berfokus pada kedua industri tersebut.
Perusahaan Investasi yang menampung saham stratup termasuk Affirm Holdings dan perusahaan terkait kripto seperti Coinbase Global, telah mengalami penurunan gain 30% sejak mencapai rekor pada Oktober.
Sementara itu, Indeks Hang Sang Tech turun sekitar 50% dari level tertingginya pada awal 2021 karena peraturan perusahaan yang luas dan kekhawatiran gelembung perumahan membebani saham teknologi China.
Komoditas juga mengalami penurunan. Setelah kenaikan multi-tahun yang mengirim paladium ke rekor tertinggi di bulan Mei, logam tersebut telah turun sekitar 35%.