Sumber: CNN | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - Situasi keamanan di Kosovo kembali bergejolak dalam beberapa hari terakhir. Kali ini, terjadi bentrokan antara pasukan penjaga perdamaian NATO dengan etnis Serbia di Kosovo utara.
Mengutip CNN, pengunjuk rasa yang berasal dari etnis Serbia melemparkan bom molotov ke pasukan Kosovo Force (KFOR) NATO. Mereka juga melakukan serangan fisik yang menyebabkan lebih dari 30 tentara terluka.
"Tentara menderita patah tulang dan luka bakar akibat alat pembakar bahan peledak rakitan, sementara tiga tentara lainnya terluka akibat penggunaan senjata api," ungkap KFOR dalam pernyataannya.
Menurut pernyataan yang keluar hari Selasa (30/5), NATO akan mengerahkan pasukan tambahan ke Kosovo. Perdana Menteri Kosovo Kurti mengatakan bahwa dia tidak akan menyerahkan negaranya kepada kelompok yang disebutnya sebagai "milisi fasis."
Baca Juga: Kosovo: Dengan Pengaruh Rusia, Serbia Berusaha Membuat Negara Kami Tidak Stabil
Pemilu Kepala Daerah yang Kontroversial
Pada bulan Maret lalu, Kosovo dan Serbia menandatangani kesepakatan baru di Ohrin, Makedonia Utara, yang bertujuan untuk menormalkan kembali hubungan.
Sayang, perdamaian tidak berlangsung lama karena pemilihan lokal yang kontroversial di empat kota di Kosovo utara.
Mayoritas etnis Serbia di Kosovo tinggal di wilayah utara. Meski jumlahnya kurang sepersepuluh dari keseluruhan populasi, namun komunitas ini menuntut otonomi yang lebih besar dari mayoritas etnis Albania yang juga tinggal di sana.
Presiden Serbia Aleksandar Vucic etnis Serbia di wilayah itu untuk memboikot pemilu di kota Zvecan dengan alasan menolak adanya pemerintah asing.
Kotamadya Zvecan memiliki populasi sekitar 16.800. Dari jumlah tersebut, lebih dari 16.000 adalah etnis Serbia dan hanya sekitar 500 etnis Albania.
Pada akhirnya, walikota yang terpilih berasal dari komunitas etnis Albania yang menjadi calon tunggal. Jumlah pemilihnya disebut tidak sampai 100 suara, sehingga dianggap tidak sah.
Baca Juga: Serbia-Kosovo Memanas, Militer Kedua Negara Bersiaga
Latar Belakang Konflik Etnis Kosovo, Serbia, dan Albania
Kosovo yang menjadi lokasi kerusuhan ini mendeklarasikan kemerdekaannya dari Serbia pada tahun 2008. Pada tahun 1998-1999 terjadi perang di mana orang-orang Albania di Kosovo berusaha untuk melepaskan diri dari Republik Federal Yugoslavia, yang saat ini menjadi Serbia dan Montenegro.
NATO kemudian ikut terlibat dalam perang untuk melindungi mayoritas Albania di Kosovo.
Masyarakat Serbia secara umum memandang Kosovo sebagai negara yang memisahkan diri dan masih belum mengakui kemerdekaan mereka.
Di sisi lain, masyarakat Serbia yang tinggal di Kosovo memandang diri mereka sebagai bagian dari Serbia, dan menganggap Belgrade sebagai ibu kota mereka, bukan Pristina.
Mayoritas etnis Serbia di Kosovo tersebut tinggal di wilayah utara yang sebagian besar dihuni masyarakat etnis Albania. Etnis Serbia yang jumlahnya kecil ini menuntut hak otonomi yang lebih besar.
Baca Juga: Ini Penyebab Utama Ketegangan Etnis Berkobar Lagi di Kosovo Utara
Pada tahun 2013, Uni Eropa hadir untuk menengahi masalah kedua negara dan berhasil melahirkan Perjanjian Brussel. Di bawah kesepakatan ini, Serbia dapat membentuk kotamadya otonom di wilayah utara, tetapi ini harus beroperasi di bawah sistem hukum Kosovo. Polisi Kosovo pun tetap menjadi satu-satunya kepolisian yang ada.
Sayangnya, kota-kota ini belum juga dibentuk hingga sekarang. Situasi ini memicu perselisihan tentang tingkat otonomi bagi orang-orang Serbia di Kosovo.
Selama bertahun-tahun pula pemerintah Kosovo meminta agar masyarakat etnis Serbia untuk mengganti pelat nomor mobil mereka dengan yang dikeluarkan oleh Kosovo, bukan keluaran Serbia yang mereka gunakan hingga sekarang.
Tahun lalu, pemerintah Kosovo mengumumkan tenggat waktu dua bulan untuk mengganti plat nomor. Namun, aturan itu justru memicu kerusuhan sehingga harus ditunda pelaksanaannya.
Buntutnya, walikota di wilayah utara yang berasal dari etnis Serbia mengundurkan diri pada bulan November 2022. Pengunduran diri itu juga diikuti oleh hakim lokal dan sekitar 600 petugas polisi.
Pengunduran diri itu merupakan bentuk protes atas belum ditepatinya hak-hak mereka di Kosovo.