Sumber: Reuters | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - BRUSSEL. Uni Eropa memanggil perwakilan China pada Sabtu (24 April) karena membahayakan perdamaian di Laut China Selatan dan mendesak semua pihak untuk mematuhi keputusan pengadilan internasional tahun 2016.
Pada 2016, Arbitrase Internasiona menolak sebagian besar klaim China atas Laut China Selatan.
Uni Eropa minggu lalu merilis kebijakan baru yang bertujuan untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan Indo-Pasifik guna melawan kekuatan China yang meningkat.
Sementara Filipina pada Jumat (23 April) memprotes China atas kegagalannya untuk menarik apa yang Manila sebut sebagai kapal yang "mengancam" yang diyakini diawaki oleh milisi maritim di sekitar Whitsun Reef yang disengketakan.
Baca Juga: China mengancam, Jepang gelar latihan militer gabungan dengan AS dan Prancis
"Ketegangan di Laut China Selatan, termasuk kehadiran kapal-kapal besar China baru-baru ini di Whitsun Reef, membahayakan perdamaian dan stabilitas di kawasan itu," kata seorang juru bicara Uni Eropa dalam sebuah pernyataan, Sabtu, seperti dikutip Reuters.
Uni Eropa menegaskan kembali penolakannya yang kuat terhadap "tindakan sepihak yang bisa merusak stabilitas regional dan ketertiban berbasis aturan internasional".
Mereka mendesak semua pihak untuk menyelesaikan sengketa secara damai sesuai dengan hukum internasional, dan menyoroti Arbitrase Internasional tahun 2016 yang telah memutuskan mendukung Filipina sambil membatalkan sebagian besar klaim China di Laut China Selatan.
Tidak menjadi alat
China menolak tuduhan Uni Eropa bahwa kapal-kapalnya di Whitsun Reef, yang oleh Beijing disebut Niu'E Jiao, telah membahayakan perdamaian dan keamanan.
Baca Juga: Lawan China, Filipina bakal kirim kapal perang ke Laut China Selatan
Misi China untuk Uni Eropa dalam sebuah pernyataan pada Sabtu menegaskan kembali, Whitsun Reef adalah bagian dari Kepulauan Nansha China atau Kepulauan Spratly.
Dan, China bilang, "masuk akal dan sah" bagi kapal penangkap ikan mereka untuk beroperasi di terumbu karang tersebut dan berlindung dari cuaca buruk.
Pernyataan China tersebut juga menegaskan, kedaulatan, hak, dan kepentingan China di Laut China Selatan dibentuk dalam "perjalanan sejarah yang panjang dan konsisten dengan hukum internasional".
Karena itu, Beijing menolak keputusan pengadilan tahun 2016 sebagai "batal demi hukum".
Baca Juga: China beri warning ke AS dan Jepang: Jangan ganggu urusan dalam negeri China
"Laut China Selatan seharusnya tidak menjadi alat bagi negara-negara tertentu untuk menahan dan menekan China, apalagi menjadi ajang pergulatan untuk persaingan kekuatan besar," kata Misi China untuk Uni Eropa, seperti dilansir Reuters.
Beijing semakin khawatir, Eropa dan negara-negara lain mengindahkan seruan Presiden AS Joe Biden untuk "pendekatan terkoordinasi" terhadap China, yang sejauh ini terwujud dalam bentuk sanksi atas tindakan keras di Hong Kong dan perlakuan terhadap Muslim Uighur.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken bulan lalu mengatakan, Washington "berdiri di samping sekutunya, Filipina," dalam menghadapi milisi maritim massal China di Whitsun Reef.